300x250 AD TOP

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 01 November 2014

Tagged under:

makalah ilmu pendidikan, disusun oleh muhamad dudy safaat jurusan manajemen pendidikan islam fakultas tarbiyah STAI AL QUDWAH



TUGAS  MATA KULIAH
ILMU PENDIDIKAN
Dosen: Ust SYAHRONI
Disusun oleh: Muhamad Dudy Safaat
Jurusan: MPI
PROGRAM: EKSTENSI
Fakultas Tarbiyah
STAI AL-QUDWAH
Tahun 2014





BAB I

PENDAHULUAN

*      Latar Belakang Masalah

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokraris serta bertanggung jawab.Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sistem pendidikan Indonesia  yang telah di bagun dari dulu sampai sekarang ini, teryata masih belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan global untuk masa yang akan datang, Program pemerataan dan peningkatan kulitas pendidikan yang selama ini menjadi fokus pembinaan masih menjadi masalah yang menonjol dalam dunia pendidikan di Indonesia ini.

Sementara itu jumlah penduduk usia pendidikan dasar yang berada di luar dari sistem pendidikan nasional ini masih sangatlah banyak jumlahnya, dunia pendidikan kita masih berhadapan dengan berbagai masalah internal yang mendasar dan bersifat komplek, selain itu pula bangsa Indonesia ini  masih menghadapi sejumlah problematika yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan mendasar sampai pendidikan tinggi.

Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh yang di harapkan, oleh karena itu upaya untuk membagun SDM yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, di butuhkanya partisipasi yang strategis dari berbagai komponen yaitu : Pendidikan awal di keluarga , Kontrol efektif dari masyarakat, dan pentingnya penerapan sistem pendidikan pendidikan yang khas dan berkualitas oleh Negara.

*      Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Apa Pengertian ilmu pendidikan?
2. hakikat manusia?
3. hakikat pendidikan?
4. karakteristik peserta didik?
5. visi-misi tujuan akses pendidikan?
6. unsur-unsur pendidikan?
7. sistem pednidikan nasional?
8. kewibawaan pendidik?
9. permasalahan-permasalahan pendidikan?
10. sekolah islam terpadu?



*      Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1.  Mahasiswa mampu memahami Sistem Pendidikan.

2.  Mahasiswa mampu memahami berbagai komponen dari Sistem Pendidikan.

3. Mahasiswa mampu memahami realitas Sistem Pendikan Nasional yang sedang berjalan saat ini.

D.  Manfaat Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian Sistem Pendidikan.

2. Untuk mengetahui berbagai komponen yang ada dalam sistem pendidikan.

3. Untuk mengetahui pengertian Sistem Pendidikan Nasional.

D.    Metode Penulisan
Metode penuisan makalah ini adalah dengan melihat sumbernya dari searching diinternet yang sesuai dengan topik yakni tentang ilmu pendidikan.





Add caption













BAB II
PEMBAHASAN
I.                   Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan adalah ilmu yang membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan persoalan pendidikan atau ilmu yang mempersoalkan pendidikan dan kegiatan pendidikan.
Istilah education dalam bahasa inggris yang berasal dari bahasa latin educare yang artinya memasukkan sesuatu, barang kali bermaksud memasukkan ilmu ke kepala orang . Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah yang biasa digunakan dalam pengertian pendidikan, diantaranya ta’lim, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran:
وَعَلَّمَ آدَمَ ْلأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ اَنْبِئُوْنِي بِاَسْمآءِ هَؤُلَآءِاِنْكُنْتُمْ صَادِقِيْن

Artinnya “Dan Allah SWT mengajarkan kepada Adam segala nama, kemudian Ia berkata kepada malaikat : beri tahulah aku nama-nama semua itu jika kamu benar”.(Q.S. Al-Baqarah : 31).
Ada juga kata tarbiyah yang digunakan untuk pendidikan. Seperti firman Allah dalam A-Quran:

وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَارَبَّيَانِي صَغِيْرًا
Artinya “Hai tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku sewaktu kecil”.(Q.S. Bani Israil : 24)
      Kata pendidikan sering kali diartikan dalam kehidupan sehari-hari dengan lembaga pendidikan dan adakalah diartikan dengan hasil pendidikan.
Menurut Dictionary of education ; Pendidikan diartikan, proses sosial yang di mana orang-orang atau anak dipengaruhi dengan lingkungan yang (sengaja) dipilih dan dikendalikan (misalnya oleh guru di sekolah) sehingga mereka memperolah kemampuan-kemampuan sosial dan perkembangan individu yang optimal. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara , mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

II.                Hakekat Manusia Menurut Pandangan Umum
      Pembicaraan manusia dapat ditinjau dalam berbagai perspektif, misalnya perspektif filasafat, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, dan spiritualitas Islam atau tasawuf, anatar lain :
a.      Dalam perspektif filsafat.
      Disimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual. Dengan nalar intelektual itulah manusia dapat berpikir, menganalisis, memperkirakan, meyimpulkan, membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual ini pula yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang salah dan yang benar.
1.      Hakekat Manusia
            Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran  pokok  filsafat   yang  memberikan  jawaban  atas pertanyaan  tersebut,  yaitu Evolusionisme dan  Kreasionisme  (J.D.  Butler, 1968). Menurut Evolusionisme,  manusia adalah  hasil  puncak  dari  mata   rantai  evolusi  yang  terjadi  di  alam  semesta.  Manusia  sebagaimana  halnya alam  semesta ada  dengan sendirinya berkembang dari alam  itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert Spencer, Charles Darwin, dan  Konosuke  Matsushita. Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Memang  kita  dapat  menerima  gagasan  tentang  adanya  proses  evolusi  di  alam semesta termasuk pada  diri  manusia,  tetapi  tentunya kita   menolak pandangan  yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta.
2.      Wujud dan Potensi Manusia.
            Wujud  Manusia. menurut  penganut  aliran  Materialisme yaitu  Julien  de  La Mettrie bahwa  esensi  manusia  semata-mata  bersifat  badani,  esensi  manusia  adalah tubuh atau fisiknya.  Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandangnya  hanya  sebagai  resonansi  dari  berfungsinya  badan  atau  organ  tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa sakit.  Pandangan  hubungan  antara  badan  dan  jiwa  seperti  itu  dikenal  sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968). Bertentangan  dengan  gagasan  Julien  de  La  Metrie,  menurut Plato salah seorang  penganut  aliran  Idealisme -bahwa  esensi   manusia  bersifat  kejiwaan/spiritual/rohaniah. Memang  Plato  tidak   mengingkari  adanya  aspek  badan,  namun menurut  dia  jiwa  mempunyai  kedudukan  lebih  tinggi  daripada  badan.
b.     Dalam Perspektif Ekonomi.
      Dalam perspektif ekonomi, manusia adalah makhluk ekonomi, yang dalam kehidupannya tidak dapat lepas dari persoalan-persoalan ekonomi. Komunikasi interpersonal untuk memenuhi hajat-hajat ekonomi atau kebutuhan-kebutuhan hidup sangat menghiasi kehidupan mereka.
c.      Dalam Perspektif Sosiologi.
      Manusia adalah makhluk social yang sejak lahir hingga matinya tidak pernah lepas dari manusia lainnya. Bahkan, pola hidup bersama yang saling membutuhkan dan saling ketergantungan menjadi hal yang dinafikkan dalam kehidupan sehari-hari manusia.
d.     Dalam Perspektif Antropologi.
      Manusia adalah makhluk antropologis yang mengalami perubahan dan evolusi. Ia senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan yang dinamis.[2]
e.      Dalam Perspektif Psikologi.
      Manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa. Jiwa merupakan hal yang esensisal dari diri manusia dan kemanusiaannya. Dengan jiwa inilah, manusia dapat berkehendak, berpikir, dan berkemauan.[3]

C.                Hakekat Manusia Menurut Pandangan Islam
      Penciptaan manusia terdiri dari bentuk jasmani yang bersifat kongkrit, juga disertai pemberian sebagian Ruh ciptaan Allah swt yang bersifat abstrak. Manusia dicirikan oleh sebuah intelegensi sentral atau total bukan sekedar parsial atau pinggiran. Manusia dicirikan oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar refles-refleks egoistis. Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar dunia inderawi, meskipun barangkali memiliki kepekaan tentang yang sakral.[4]
      Manusia perlu mengenali hakekat dirinya, agar akal yang digunakannya untuk menguasai alam dan jagad raya yang maha luas dikendalikan oleh iman, sehingga mampu mengenali ke-Maha Pekasaan Allah dalam mencipta dan mengendalikan kehidupan ciptaanNya. Dalam memahami ayat-ayat Allah dalam kesadaran akan hakekat dirinya, manusia menjadi mampu memberi arti dan makna hidupnya, yang harus diisi dengan patuh dan taat pada perintah-perintah dan berusaha menjauhi larangan-larangan Allah. Berikut adalah hakekat manusia menurut pandangan Islam:
1.     Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT.
      Hakekat pertama ini berlaku umum bagi seluruh jagat raya dan isinya yang bersifat baru, sebagai ciptaan Allah SWT di luar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan meupakan alam nyata yang konkrit, sedang alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib, kecuali Allah SWT yang bersifat ghaib bukan ciptaan, yang ada karena adanya sendiri.[5]
Firman Allah SWT mengenai penciptaan manusia dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5 :

فانا خلقناكم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة لنبين لكم
       “Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging yang diberi bentuk dan yang tidak berbentuk, untuk Kami perlihatkan kekuasaan Tuhanmu.”
       Firman tersebut menjelaskan pada manusia tentang asal muasal dirinya, bahwa hanya manusia pertama Nabi Adam AS yang diciptakan langsung dari tanah, sedang istrinya diciptakan dari satu bagian tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia berikutnya  diciptakan melalui perantaraan seorang ibu dan dari seorang ayah, yang dimulai dari setetes air mani yang dipertemukan dengan sel telur di dalam rahim.
       Hakikat pertama ini berlaku pada umumnya manusia di seluruh jagad raya sebagai ciptaan Allah diluar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan merupakan alam nyata yang konkrit sedangkan alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib kecuali Allah yang bersifat ghaib bukan ciptaan yang ada karena dirinya sendiri.
2.     Kemandirian dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).
      Kemanunggalan tubuh dan jiwa yang diciptakan Allah SWT , merupakan satu diri individu yang berbeda dengan yang lain. setiap manusia dari individu memiliki jati diri masing - masing. Jati diri tersebut merupakan aspek dari fisik dan psikis di dalam kesatuan. Setiap individu mengalami perkembangan dan berusah untuk mengenali  jati dirinya sehingga mereka menyadari bahwa jati diri mereka berbeda dengan yang lain.  Firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf 189:

هو الذي خلقكم من نفس واحدة

                  “Dialah yang menciptakanmu dari satu diri”
       Firman tersebut jelas menyatakan bahwa sebagai satu diri (individu) dalam merealisasikan dirinya melalui kehidupan, ternyata diantaranya terdapat manusia yang mampu mensyukurinya dan menjadi beriman.
       Di dalam sabda Rasulullah SAW menjelaskan petunjuk tentang cara mewujudkan sosialitas yang diridhoiNya, diantara hadist tersebut mengatakan:
       “Seorang dari kamu tidak beriman sebelum mencintai kawannya seperti mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
       “Senyummu kepada kawan adalah sedekah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Baihaqi)
       Kebersamaan (sosialitas) hanya akan terwujud jika dalam keterhubungan itu manusia mampu saling menempatkan sebagai subyek, untuk memungkinkannya menjalin hubungan manusiawi yang efektif, sebagai hubungan yang disukai dan diridhai Allah SWT.[6] Selain itu manusia merupakan suatu kaum (masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan berhadapan dengan kaum (masyarakat) yang lain. Manusia dalam perspektif agama Islam juga harus menyadari bahwa pemeluk agama Islam adalah bersaudara satu dengan yang lain.[7]
3.     Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas.
       Manusia memiliki kebebasan dalam mewujudkan diri (self realization), baik sebagai satu diri (individu) maupun sebagai makhluk social, terrnyata tidak dapat melepaskan diri dari berbagai keterikatan yang membatasinya. Keterikatan atau keterbatasan itu merupakan hakikat manusia yang melekat dan dibawa sejak manusia diciptakan Allah SWT. Keterbatasan itu berbentuk tuntutan memikul tanggung jawab yang lebih berat daripada makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab yang paling asasi sudah dipikulkan ke pundak manusia pada saat berada dalam proses penciptaan setiap anak cucu Adam berupa janji atau kesaksian akan menjalani hidup di dalam fitrah beragama tauhid. Firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:
واذ اخذ ربك من بني ادم من ظهورهم ذريتهم واشدهم على انفسهم الست بربكم قالوا بلى شهدنا
       “Dan ingat lah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian jiwa mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami dan kami bersaksi.”
       Kesaksian tersebut merupakan sumpah yang mengikat atau membatasi manusia sebagai individu bahwa didalam kehidupannya tidak akan menyembah selain Allah SWT. Bersaksi akan menjadi manusia yang bertaqwa pada Allah SWT. Manusia tidak bebas menyembah sesuatu selain Allah SWT, yang sebagai perbuatan syirik dan kufur hanya akan mengantarkannya menjadi makhluk yang terkutuk dan dimurkaiNya.[8]
III.  HAKIKAT PENDIKAN
Hakikat pendidikan diartikan sebagai kupasan secara konseptual terhadap kenyataan-kenyataan kehidupan manusia baik disadari maupun tidak disadari manusia telah melaksanakan pendidikan mulai dari keberadaan manusia pada zaman primitif  sampai zaman modern (masa kini), bahkan selama masih ada kehidupan manusia di dunia, pendidikan akan tetap berlangsung. Kesadaran akan konsep tersebut diatas menunjukkan bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan. Artinya sebagai pertanda  bahwa manusia sebagai makluk budaya yang salah satu tugas kebudayaan itu tampak pada proses pendidikan (Syaifullah,1981).
Maka pembahasan tentang hakikat pendidikan merupakan tinjauan yang menyeluruh dari segi kehidupan manusia yang menampakkan konsep-konsep pendidikan. Karena itu pembahasan hakikat pendidikan meliputi pengertian-pengertian: pendidikan dan ilmu pendidikan; pendidikan dan sekolah; dan pendidikan sebagai aktifitas sepanjang hayat. Komponen-komponen pendidikan yang meliputi: tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, kurikulum dan metode pembelajaran.

IV.  KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK
1. Karakter Perkembangan Moral Peserta Didik
1.1.Pandangan Kohlberg (Duska & Whelan, 1979; Sprinthall,1977; Lickona,1975)
Berdasarkan pengamatan pada cara berpikir yang biasanya digunakan orang dalam menghadapi dilema moral, Kohlberg menemukan adanya enam tahap perkembangan moral orang dalam bertingkah laku, yang satu sama lainnya berbeda. Berikut ini enam tingkat pertimbangan moral menurut Kohlberg,
1). Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini orang menyesuaikan diri dengan aturan-aturan adat dan budaya setempat tentang apa yang disebut baik atau buruk, benar atau salah. Aturan itu mendapat wibawa dari akibat fisik atau kenikmatan akibat perbuatannya, misalnya kalau berbuat salah dihukum, sebaliknya kalau berbuat baik diberi hadiah. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kekuatan fisik dari mereka yang menentukan aturan tersebut. Tahap pra konvensional ini dibagi menjadi dua tingkat, yaitu:
a. Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Baik buruknya tindakan seseorang ditentukan oleh akibat fisiknya, tanpa menghiraukan arti manusiawi dan nilai tindakan itu. Menghindari hukuman dan menyerahkan diri pada yang berkuasa (tanpa mempersoalkan) mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Orang taat dengan motivasi takut menderita akibat ketidaktaatannya, bukan karena sikap hormat terhada suatu tata moral yang didukung oleh hukum dan wibawa.
b. Orientasi Instrumentalis Relatif
Tindakan yang benar adalah tindakan yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan sendiri, dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antara manusia dilihat seperti hubungan orang di pasar. Ada unsur kewajaran, ketimbal-balikan, sama rata, namun selalu diartikan secara fisik demi kebutuhan sendiri. Sikap timbal baliknya bukan loyalitas, rsa terima kasih atau rasa keadilan, tetapi ini soal ”mata ganti mata, gigi ganti gigi”.
2). Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini memenuhi harapan kelompok, keluarga atau bangsa dianggap bernilai pada dirinya sendiri tanpa menghiraukan akibat-akibat alngsung.Sikap ini tidak hanya memuat penyesuaian dengan harapan-harapan orang lain dan dengan tata aturan masyarakat, melainkan memuat juga loyalitas kepadanya, kesediaan untuk mempertahankan, mendukung, dan membenarkan tata aturan itu secara aktif pun pula sikap mengindentifikasikan diri dengan orang-orang dan kelompok yang terlibat di dalamnya. Tahap ini dibagi dua tingkat, sebagai berikut:
a. Orientasi Masuk Kelompok ”anak manis” dan ”anak baik”
Perilaku baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta mendapat persetujuan dari mereka. Dalam tahap ini orang menyesuaikan diri dengan anggapan umum tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan aa yang dianggap cocok atau tidak cocok. ’Maksud baik’ mulai dinilai sebagai hal yang penting. Pada tingkat ini ada kecenderungan perbuatan atau perilaku seseorang dalam rangka mencari pujian dari pihak lain atau masyarakat.
b. Orientasi Hukum dan Ketertiban
Tindakan yang benar adalah tindakan yang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan pasti dengan berusaha memelihara ketertiban sosial. Perilaku yang benar adalah semata-mata melakukan kewajiban dan menunjukkan rasa hormat kepada otoritas, serta memelihara ketertiban sosial yang ada, demi ketertiban itu sendiri.
3). Tingkat Pascakonvensional, Otonom atau Berprinsip
Pada tahap ini terdapt usaha jelas untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip moral lepas dari wibawa kelompok atau orang yang memegang prinsip-rpinsip itu dan lepas pula dari indentifikasi individu itu dengan kelompoknya. Pada tahap ini dibagi menjadi dua tingkat, yaitu:
a. Orientasi Kontrak Sosial Legalistis
Pada tahap ini, orang menekankan pada unsur yang terkait dengan kemanfaatan dan mementingkan kegunaan (utilitarium). Tindakan yang benar ditentukan dari hak dan norma individual yang telah diperiksa dengan kritis, dan disetujui bersama oleh masyarakat. Ada kesadaran yang jelas bahwa ’nilai’ dan ’pendapat’ pribadi bersifat relatif karenanya perlu adany peraturan prosedural untuk mencapai kesepakatan bersama. Karena ’nilai’ dan ’pendapat’ pribadi dapat bertentangan dengan keputusan bersama, maka hukum mendapat tempat yang dominan, sekaligus ditekankan bahwa hukum dapat saja diubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak sosial merupakan unsur pengikat kewajiban.
b. Orientasi Prinsip Kewajiban
Pada tahap ini, yang dianggap benar adalah yang sesuai dengan suara hati, sesuai dengan prinsip moral yang dipilihnya sendiri dengan berpedoman pada pemahaman kekomprehensipan
secara logis, universalitas, disertai kekonsistenan yang ajeg. Prinsip moral harus memenuhi tiga
syarat: memuat semua, berlaku umum, dan tidak saling bertentangan. Prinsip
-
prinsip itu abstrak,
bukan petunjuk perbua
tan konkret. Inti moralitas berupa prinsip
-
prinsip universal tentang
keadilan, ketimbal
-
balikan, persamaan hak
-
hak asasi manusia yang mengacu pada usaha
penghormatan martabat manusia sebagai individu (Kohlberg,1977:130).
Struktur tingkat pertimbangan
moral sebagaimana dipaparkan di atas, selanjutnya dapat
dipahami melalui interpretasi sebagai berikut:
Tahap pertama
: motif moral
sebuah tindakan
terutama didasarkan pada usaha untuk
menghindarkan diri dari hukuman fisik. Keputusan moral dan ketaatan
dida
sarkan pada kekuatan fisik dan material yang sangat sederhana.
Dalam
tahap pertama ini tidak dilarang jika orang tua atau guru menggunakan
”ancaman” untuk mendidik anak
-
anak, misalnya agar patuh, disiplin, tertip, dll.
Tahap kedua
:
morif moral
sebuah tinda
kan
terutama berupa usaha untuk memperoleh ganjaran
atau agar perbuatan baiknya memperoleh imbalan yang setimpal. Keputusan moral didasarkan
pada pemuasan kebutuhan sendiri, dengan memikirkan cara menarik keuntungan sebesar
mungkin. Orientasinya sangat ma
terialistis dan instrumentalis.
Dalam tahap ini orang tua atau
guru harus sadar bahwa pada tahap ini anak atau orang akan berbuat baik demi mencari pujian
bagi dirinya atau mendapat imbalan.
Tahap ketiga
:
motif moral
sebuah tindakan
berfungsi sebagai upaya
agar tidak disalahkan atau
agar tidak dibenci oleh kelompoknya atau oleh kelompok mayoritasnya.
Keputusan moral dibuat semata
-
mata untuk menyenangkan orang lain.
Egosentrisme digantikan dengan kemampuan untuk ber
-
emapati, merasakan
apa yang barang kali di
rasakan orang lain.
Moralitas tahap ini tidak menge
nal
relativitas dan kompleksitas, sebab semuanya masih dilhat dalam model
-
model
yang je
as dan perbedaan yang tegas. Ti
ngkah laku selalu mengikuti konvensi
umum yang ada di dalam masyarakat.
Dalam tahap ini
orang tua atau guru
harus sadar bahwa anak atau orang akan berbuat baik jika orang lain juga
berbuat demikian pada dirinya, dan akan berbuat jahat jika orang lain juga
berbuat demikian terhadap dirinya.
Tahap keempat
: motif moral
sebuah tindakan b
erfungsi sebagai upaya membebaskan diri dari
teguran pejabat yang memegang kekuasaan, di samping itu juga untuk
melestarikan aturan
-
aturan umum serta membebaskan diri dari rasa bersalah
yang merupakan akibatnya. Setiap orang wajib mentaati hukum
-
hukum yan
g
ada dalam masyarakat tanpa mempertanyakannya, sebab hukum dilihat sebagai
kebijakan bersama yang menjadi tolok ukur bagi masyarakat untuk bertindak,
dan hukum itu akan menjamin kestabilan masyarakat.
Dan pertimbangan moral
dibuat seseorang sesuai dengan
aturan
-
aturan dalam masyarakat di mana dia
hidup. Dalam tahap ini orang tua atau guru harus menyadari perbuatan anak
atau orang semata
-
mata demi tidak melanggar aturan atau hukum, sering
tingkah laku ini disebut bersifat legalistis.
Tahap kelima
:
motif mo
ral sebuah tindakan terletak pada keinginan untuk mempertahkan nilai
-
nilai atau moralitas yang berlaku atau disetujui oleh masyarakat luas atau demi
kepentingan masyarakat yang lebih luas. Pemikiran dan pertimbangan moral
merupakan hal yang kompleks karena
menyangkut banyak segi. Banyak hal
yang harus dipertimbangkaan sekaligus bersama
-
sama aspek
-
aspek situasional
motivasi dan prinsp-prinsip umum yang tercakup. Hukum memang dilihat sebagai suatu cara untuk mengatur masyarakat, namun penalaran menuntut kemampuan untuk berpikir secara abstrak, mempertimbangkan segi emosional, logisnya dan mengandaikan prinsip keadilan sebagai prinsip utamanya.
Tahap keenam: motif moral sebuah tindakan terletak pada konformitas terhadap prinsip moral yang berfungsi untuk menghindarkan diri dari rasa bersalah yang timbul dari dalam dirinya sendiri. Pertimbangan moral tidak lagi berdasarkan suatu sistem hukum melainkan pada hukum yang tidak tertulis, pada prinsip moral yang universal. (Martin dan Briggs,1986:152-155). Pada tahap ini otonomi seseorang sebagai pribadi yang utuh dituntut dan sanggup untuk mempertanggungjawabkan tindakannya sesuai dengan hati nuraninya, lepas dari pertimbangan eksternal yang mungkin tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Selanjutnya ilustrasi di bawah ini mungkin dapat memperjelas uraian di atas.
Tahap pertama: ”Saya harus merapikan tempat tidurku, jika tidak akan dimarahi mama”, atau ”Saya akan mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik, agar tidak dihukum bu guru”. ( Dalam tindakan seperti itu terkandung pesan moral bahwa ”seseorang harus mengerjakan tugas demi ketaatan pada yang berwenang, sebab jika tidak akan dihukum. Seseorang takut dihukum menjadi alasan utama untuk taat pada otoritas yang lebih berwenang).
Tahap kedua: ” Jika saya memukul temanku, maka saya juga akan balik dipukul ” atau ”Jika saya menolong orang lain yang sedang kesulitan, maka di saat saya susah juga akan ditolong orang lain”. (Dalam seseorang melakukan suatu perbuatan terkandung pikiran bahwa dirinya akan mendapat perlakuan yang sama jika dalam keadaan yang sama).
Tahap ketiga: ”Jika saya berhenti pada waktu lampu lalu lintas menyala merah, maka saya akan mendapat pujian dari bapak polisi yang berdiri di tepi jalan” atau ”Jika saya mengerjakan pekerjaan rumah, maka saya akan mendapat pujian dari bu guru”. (Dalam melakukan sebuah tindakan, terkandung pikiran bahwa tindakannya harus seperti itu karena hal tersebut merupakan harapan orang lain atau masyarakat dan dengan berbuat seperti itu akan mendapat pujian).
Tahap keempat: ” Menurut hukum, menyontek itu dilarang, maka saya tidak akan melakukannya”, atau ”Menurut hukum, membayar pajak itu bukti warga negara yang baik, maka saya melakukannya” (Dalam bertindak terkandung pikiran bahwa perbuatan apapun harus sesuai dengan hukum yang berlaku sebab hukum memang harus ditaati tanpa syarat).
Tahap kelima: ” Berbohong tidak boleh sebab melanggar norma moral, tetapi seorang dokter boleh berbohong terhadap seorang pasien yang sudah dalam keadaan kritis dengan mengatakan bahwa kondisinya cukup baik, dengan harapan pasien tetap termotivasi untuk dapat sembuh dan dapat hidup terus”. (Bagi seorang dokter mempertahankan nilai kehidupan jauh lebih penting dari pada nilai kejujuran (tidak berbohong), sebab jika dokter jujur dengan mengatakan kondisi yang senyatanya dapat saja pasien langsung meninggal).
Tahap keenam: ” Saya menolong orang lain yang sedang menderita bukan untuk mencari pujian, bukan karena mencari imbalan, atau bukan karena aturan, tetapi karena prinsip cinta kasih sesuai dengan gerakan suara hatiku” (Tingkah laku atau perbuatan
seseorang didasarkan atas prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang sifatnya universal dan sesuai dengan hati nuraninya).
1.2. Perkembangan moral menurut perkembangan ranah afektif
Ranah afektif seseorang tercermin dalam sikap dan perasaan diri seseorang (Muhammad Syah,2007:230-134) yang meliputi: (1) self-concept dan self esteem; (2) self-efficacy dan contextual efficacy; (3) attitude of self-acceptance dan others acceptance. Self-concept atau konsep diri adalah totalitas sikap dan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri. Sementara self-esteem atau harga diri adalah tingkat pandangan dan penilaian seseorang mengenai kualitas dirinya berdasarkan prestasinya. Self-efficacy (efikasi diri) adalah keyakinan seseorang terhadap keefektifan kemampuan sendiri dalam membangkitkan gairah dan kegiatan orang lain. Contextual efficacy adalah kemampuan seseorang dalam berurusan dengan keterbatasan faktor luar dirinya pada suatu saat tertentu. Sementara itu self-acceptance attitude atau sikap penerimaan terhadap diri sendiri adalah gejala perasaan seseorang dalam kecenderungan positif atau negatif terhadap diri sendiri berdasarkan penilaian jujur atas bakat dan kemampuannya. Others acceptance attitude adalah sikap mampu menerima keberadaan orang lain, yang amat dipengaruhi oleh kemampuan untuk menerima diri sendiri.
Perkembangan ranah afektif sama ragamnya dengan perkembangan ranah kognitif, maksudnya tingkat perkembangan ranah afektif seseorang amatlah beragam. Secara umum perkembangan ranah afektif menurut Dupont, meliputi enam tahap ( Darmiyati Zuchdi,2008: 22-24)
Tahap
Agak berbeda dengan pandangan di atas adalah paparan Erickson (2008) tentang perkembangan afektif, yang dibaginya menjadi delapan fase :

V. VISI-MISI TUJUAN AKSES PENDIDIKAN
Visi dan Misi pendidikan nasional telah dirumuskan dan dituangkan dalam "penjelasan" UU, 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Visi dan Misi pendidikan nasional ini merupakan bagian yang penting dalam strategi pembaharuan sistem pendidikan.

VISI PENDIDIKAN NASIONAL

Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

MISI PENDIDIKAN NASIONAL

Dengan visi pendidikan nasional tersebut, maka pendidikan nasional memiliki misi sebagai berikut:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.

3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.

4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan. keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.

5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Inonesia.
Beberapa program yang telah dijalankan oleh Kemdikbud dalam meningkatkan akses dan keterjangkauan antara lain, dalam pembiayaan bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan siswa miskin (BSM), bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN), dan pendidikan menengah universal (PMU). Sedangkan yang terkait sarana dan prasarana, program rehabilitasi bangunan sekolah dan ruang kelas rusak berat sejak tahun 2012 telah memperbaiki 200.000 ruang kelas.

Di jenjang pendidikan tinggi, guna meningkatkan akses, Kemdikbud telah mendirikan berbagai perguruan tinggi di wilayah perbatasan, menegerikan perguruan tinggi swasta, dan mendirikan akademi komunitas. Target pendirian akademi komunitas (AK) di seluruh wilayah Indonesia adalah satu AK di satu kabupaten/kota.

Sedangkan untuk peningkatan kualitas, program yang telah dilakukan antara lain perbaikan kurikulum, pelatihan guru, dan membuka kesempatan beasiswa bagi guru, dosen, dan masyarakat umum untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. “Guru yang telah dilatih sudah 1,3 juta orang,” katanya.

Dari program-program yang telah dilaksanakan ini, Ibnu mengatakan, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi terus meningkat. Untuk jenjang SD, target APK di tahun 2014 ini adalah 95 persen, dan sudah tercapai. Bahkan di beberapa wilayah, katanya, APK telah melampaui 100 persen. “Kenapa bisa lebih dari 100 persen, salah satunya adalah karena di wilayah tersebut banyak anak-anak yang usianya di bawah tujuh tahun sudah masuk SD,” ucapnya.

Dan untuk pendidikan tinggi, peningkatan APK cukup signifikan. Tahun 2004 APK pendidikan tinggi baru 15 persen. Artinya, dari seluruh masyarakat usia 18-25 tahun hanya 15 persen di antaranya yang mengenyam pendidikan tinggi. Dan di tahun 2014 ini, sudah meningkat hingga 35 persen.

 Ibnu mengatakan, berbagai tantangan yang ada di dunia pendidikan harus dihadapi bersama antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Karena dengan kebijakan otonomi daerah, koordinasi pusat dan daerah harus ditingkatkan. “Dan harapannya, menteri yang akan datang bisa meningkatkan koordinasi tersebut,” katanya. (Aline Rogeleonick)

VI. Unsur-Unsur Pendidikan
Unsur-unsur pendidikan melibatkan banyak hal yaitu:
1. Subjek yang dibimbing (peserta didik)
Peserta didik ini mempunyai status sebagai subjek, yaitu yang diberikan pendidikan. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Ciri-ciri peserta didik yang harus dipahami oleh pendidik adalah:
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik
b. Individu yang sedang berkembang
c. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi
d. Individu yang mempunyai kemampuan untuk mandiri
2. Orang yang membimbing (pendidik)
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Oleh karena itu yang bertanggung jawab atas pendidikan adalah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran dan latihan, dan masyarakat.
3. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi eduktif)
Interaksi eduktif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi, isi, metode, serta alat-alat pendidikan.
4. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)
5. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan)
6. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode pendidikan)
Alat dan metode di sini diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara khusus, alat itu untuk melihat jenisnya, sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya.
7. Tempat di mana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan)

VII. SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
01.uu no.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Document Transcript

    1. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; b. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang; c. bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan; d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
    2. 2 bangsa dan negara. 2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. 3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. 6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. 7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. 9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan. 10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain. 16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. 17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. 19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. 20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. 21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan
    3. 3 pendidikan. 22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. 23. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana. 24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. 25. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. 26. Warga negara adalah warga negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 27. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. 28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 29. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota. 30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional. BAB II DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN Pasal 2 Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. BAB III PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN Pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan,
    4. 4 dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA, ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Hak dan Kewajiban Warga Negara Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 6 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. (2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Orang Tua Pasal 7 (1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. (2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
    5. 5 evaluasi program pendidikan. Pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 10 Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. BAB V PESERTA DIDIK Pasal 12 (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing- masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. (2) Setiap peserta didik berkewajiban: a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan; b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang
    6. 6 diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB VI JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. (2) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh. Pasal 14 Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pasal 15 Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pasal 16 Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Bagian Kedua Pendidikan Dasar Pasal 17 (1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. (2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. (3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Pendidikan Menengah Pasal 18
    7. 7 (1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. (2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. (3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. (4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Keempat Pendidikan Tinggi Pasal 19 (1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. (2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka. Pasal 20 (1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. (2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi. (4) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 21 (1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya. (2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (4) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan. (5) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan. (6) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak sah.
    8. 8 (7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 22 Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni. Pasal 23 (1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi. Pasal 24 (1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. (2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. (4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 25 (1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya. (3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kelima Pendidikan Nonformal Pasal 26 (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
    9. 9 pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. (7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Keenam Pendidikan Informal Pasal 27 (1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. (2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketujuh Pendidikan Anak Usia Dini Pasal 28 (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak- kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
    10. 10 Bagian Kedelapan Pendidikan Kedinasan Pasal 29 (1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. (2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. (3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. (4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh Pasal 31 (1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler. (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. (4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesebelas Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
    11. 11 Pasal 32 (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. (3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB VII BAHASA PENGANTAR Pasal 33 (1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. (2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. (3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. BAB VIII WAJIB BELAJAR Pasal 34 (1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB IX STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Pasal 35 (1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. (2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum,
    12. 12 tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. (3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. (4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB X KURIKULUM Pasal 36 (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 37 (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i. keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal. (2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa. (3) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
    13. 13 Pasal 38 (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. (3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. (4) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. BAB XI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Pasal 39 (1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. (2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40 (1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan e. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. (2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: a. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan c. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pasal 41 (1) Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah. (2) Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
    14. 14 (3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. (4) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 42 (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi. (3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 43 (1) Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan. (2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. (3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 44 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat. BAB XII SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN Pasal 45 (1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. (2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
    15. 15 BAB XIII PENDANAAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Tanggung Jawab Pendanaan Pasal 46 (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Sumber Pendanaan Pendidikan Pasal 47 (1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. (2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Pengelolaan Dana Pendidikan Pasal 48 (1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. (2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Keempat Pengalokasian Dana Pendidikan Pasal 49 (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
    16. 16 (APBD). (2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB XIV PENGELOLAAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 50 (1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri. (2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. (3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. (4) Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. (5) Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. (6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. (7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 51 (1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. (2) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. (3) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 52 (1) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
    17. 17 daerah, dan/atau masyarakat. (2) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Badan Hukum Pendidikan Pasal 53 (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri. BAB XV PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 54 (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Pendidikan Berbasis Masyarakat Pasal 55 (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    18. 18 (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah Pasal 56 (1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. (2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. (3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. (4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB XVI EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI Bagian Kesatu Evaluasi Pasal 57 (1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. (2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Pasal 58 (1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. (2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
    19. 19 Pasal 59 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. (2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. (3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Akreditasi Pasal 60 (1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. (2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. (3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka. (4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Sertifikasi Pasal 61 (1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. (2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. (3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. (4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB XVII PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN Pasal 62 (1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah. (2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
    20. 20 (3) Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 63 Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara lain menggunakan ketentuan undang-undang ini. BAB XVIII PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN Pasal 64 Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 65 (1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara Indonesia. (3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara Indonesia. (4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB XIX PENGAWASAN Pasal 66 (1) Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. (3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
    21. 21 BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 67 (1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 68 (1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 69 (1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
    22. 22 Pasal 70 Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 71 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 72 Penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan. Pasal 73 Pemerintah atau pemerintah daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat undang-undang ini diundangkan belum memiliki izin. Pasal 74 Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini. BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 75 Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan undang- undang ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini. Pasal 76 Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 48/Prp./1960
    23. 23 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 77 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003 Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003 Sekretaris Negara Republik Indonesia, Bambang Kesowo
    24. 24 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4301 PENDIDIKAN. Sistem Pendidikan Nasional. Warga Negara. Masyarakat. Pemerintah. Pemerintah Daerah. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL I. UMUM Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut: 1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
    25. 25 2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; 3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; 4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan 5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI. Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi : 1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; 2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; 3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan; 5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan; 6. penyediaan sarana belajar yang mendidik; 7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; 8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; 9. pelaksanaan wajib belajar; 10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; 11. pemberdayaan peran masyarakat; 12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan 13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sehubungan dengan hal-hal di atas, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu diperbaharui dan diganti. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas
    26. 26 Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pendidikan dengan sistem terbuka adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit system). Peserta didik dapat belajar sambil bekerja, atau mengambil program-program pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh. Pendidikan multimakna adalah proses pendidikan yang diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Memberdayakan semua komponen masyarakat berarti pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat dalam suasana kemitraan dan kerja sama yang saling melengkapi dan memperkuat. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) huruf a Pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau
    27. 27 disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3). Ayat (1) huruf b Pendidik dan/atau guru yang mampu mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3). Ayat (1) huruf c Cukup jelas Ayat (1) huruf d Cukup jelas Ayat (1) huruf e Cukup jelas Ayat (1) huruf f Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu. Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
    28. 28 Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pendidikan yang sederajat dengan SD/MI adalah program seperti Paket A dan yang sederajat dengan SMP/MTs adalah program seperti Paket B. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pendidikan yang sederajat dengan SMA/MA adalah program seperti Paket C. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Akademi menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu. Politeknik menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus. Sekolah tinggi menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Institut menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam
    29. 29 sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Gelar akademik yang dimaksud, antara lain, sarjana, magister, dan doktor. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan perguruan tinggi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas
    30. 30 Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan yang memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Pendidikan kepemudaan adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa, seperti organisasi pemuda, pendidikan kepanduan/kepramukaan, keolahragaan, palang merah, pelatihan, kepemimpinan, pecinta alam, serta kewirausahaan. Pendidikan pemberdayaan perempuan adalah pendidikan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan. Pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakup program paket A, paket B, dan paket C. Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan fungsional yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Kursus dan pelatihan sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional. Kursus dan pelatihan dikembangkan melalui sertifikasi dan akreditasi yang bertaraf nasional dan internasional. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar. Ayat (2) Cukup jelas
    31. 31 Ayat (3) Taman kanak-kanak (TK) menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Raudhatul athfal (RA) menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam yang menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi diri seperti pada taman kanak-kanak. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Bentuk pendidikan jarak jauh mencakup program pendidikan tertulis (korespondensi), radio, audio/video, TV, dan/atau berbasis jaringan komputer. Modus penyelenggaraan pendidikan jarak jauh mencakup pengorganisasian tunggal (single mode), atau bersama tatap muka (dual mode). Cakupan pendidikan jarak jauh dapat berupa program pendidikan berbasis mata pelajaran/mata kuliah dan/atau program pendidikan berbasis bidang studi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengajaran bahasa daerah pada jenjang pendidikan dasar di suatu daerah disesuaikan dengan intensitas penggunaannya dalam wilayah yang bersangkutan. Tahap awal pendidikan adalah pendidikan pada tahun pertama dan kedua sekolah dasar.
    32. 32 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1) Standar isi mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan ke dalam persyaratan tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Standar tenaga kependidikan mencakup persyaratan pendidikan prajabatan dan kelayakan, baik fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Peningkatan secara berencana dan berkala dimaksudkan untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan nasional, keadilan, dan kompetisi antarbangsa dalam peradaban dunia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan bersifat mandiri pada tingkat nasional dan propinsi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 37 Ayat (1) Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
    33. 33 Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan: 1. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional; 2. Bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik; dan 3. Bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global. Bahan kajian matematika, antara lain, berhitung, ilmu ukur, dan aljabar dimaksudkan untuk mengembangkan logika dan kemampuan berpikir peserta didik. Bahan kajian ilmu pengetahuan alam, antara lain, fisika, biologi, dan kimia dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap lingkungan alam dan sekitarnya. Bahan kajian ilmu pengetahuan sosial, antara lain, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat. Bahan kajian seni dan budaya dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Bahan kajian seni mencakup menulis, menggambar/melukis, menyanyi, dan menari. Bahan kajian pendidikan jasmani dan olah raga dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik agar sehat jasmani dan rohani, dan menumbuhkan rasa sportivitas. Bahan kajian keterampilan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki keterampilan. Bahan kajian muatan lokal dimaksudkan untuk membentuk pemahaman terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 40 Ayat (1) huruf a Yang dimaksud dengan penghasilan yang pantas dan memadai adalah penghasilan yang mencerminkan martabat guru sebagai pendidik yang profesional di atas kebutuhan hidup minimum (KHM). Yang dimaksud dengan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, antara lain, jaminan kesehatan dan jaminan hari tua.
    34. 34 huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas huruf e Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 41 Ayat (1) Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bertugas di mana pun dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap memperhatikan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pemberian fasilitas oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dimaksudkan untuk menghindari adanya daerah yang kekurangan atau kelebihan pendidik dan tenaga kependidikan, serta juga dimaksudkan untuk peningkatan kualitas satuan pendidikan. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Program sertifikasi bertujuan untuk memenuhi kualifikasi minimum pendidik yang merupakan bagian dari program pengembangan karier oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas
    35. 35 Pasal 46 Ayat (1) Sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Ayat (1) Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
    36. 36 Ayat (6) Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya. Ayat (7) Cukup jelas Pasal 51 Ayat (1) Yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Ayat (1) Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Ayat (1) Kekhasan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat tetap dihargai dan dijamin oleh undang-undang ini. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
    37. 37 Ayat (5) Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Ayat (1) Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain mencakup undang-undang tentang imigrasi, pajak, investasi asing, dan tenaga kerja. Ayat (2) Pelaksanaan pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Sistem pendidikan negara lain mencakup kurikulum, sistem penilaian, dan penjenjangan pendidikan. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas
    38. 38 Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Peraturan pemerintah yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain, mengatur tata cara pengawasan dan sanksi administratif. Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas.

VIII. KEWIBAWAAN PENDIDIK
Kewibawaan merupakan “alat pendidikan” yang diaplikasikan oleh guru untuk menjangkau (to touch) kedirian anak didik dalam hubungan pendidikan. Kewibawaan ini mengarah kepada kondisi high touch, dalam arti perlakuan guru menyentuh secara positif, kontruktif, dan komprehensif aspek-aspek kedirian/kemanusiaan anak didik. Dalam hal ini guru menjadi fasilitator bagi pengembangan anak didik yang diwarnai secara kental oleh suasana kehangatan dan penerimaan, keterbukaan dan ketulusan, penghargaan, kepercayaan, pemahaman empati, kecintaan dan penuh perhatian (Rogers, 1969; Gordon, 1974; Smith, 1978; Barry & King, 1993; Hendricks, 1994). Sejalan dengan pengembangan suasana demikian itu, guru dengan sungguh-sungguh memahami suasana hubungannya dengan anak didik secara sejuk, dengan menggunakan bahasa yang lembut, tidak meledak-ledak (Silberman, 1970 dan Gordon, 1974).
           Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Pendidik harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada unsure kewenangan jabatan.     Kewibawan justru menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk mengakui, menerima dan “menuruti” dengan penuh pengertian atas keluasaan tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung yang terlepas dari kritik. Kewibawaan guru akan lebih berarti jika membuat siswanya dapat melakukan koreksi atau kritik terhadap dirinya.
           Kewibawaan pendidik hanya dimiliki oleh mereka yang dewasa. Yang dimaksud dengan kedewasaan disini adalah kedewasaan pikiran. Kedewasaan pikiran hanya akan tercapai oleh individu yang telah melakukan proses atau dialektika dengan realitas social yang pernah dilaluinya. Misalnya ketika masih mahasiswa aktif melakukan diskusi-diskusi dengan berbagai kelompok dalam kampus atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang sifatnya memacu perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik Atau terlibat dalam advokasi-advokasi kemahasiswaan. Ada tiga sendi kewibawaan, yaitu kepercayaan, kasih sayang dan kemampuan. Pertama, kepercayaan, pendidik harus percaya bahwa dirinya bisa mendidik dan juga harus percaya bahwa peserta didik dapat mengembangkan dirinya sehingga dalam proses pembelajaran guru berfungsi sebagai pembangkit potensi peserta dididik. Kedua, Kasih sayang mengandung makna, yaitu penyerahan diri kepada yang disayangi/peserta didik dan melakukan proses pembebasan terhadap yang disayangi dalam batasan-batasan yang tidak merugikan peserta didik dan kesediaan untuk berkorban dalam bentuk konkretnya berupa pengabdian dalam kerja. Ketiga, kemampuan mendidik dapat dikembangkan melalui beberapa cara, antara lain pengkajian terhadap ilmu pengetahuan kependidikan, mengambil manfaat dari pengalaman kerja, senantisa megikuti alur perkembangan ilmu pengetahuan, agar guru mengajar sambil belajar hal-hal yang baru, sehingga guru tidak hanya seperti burung beo yang pengetahuannya tidak pernah bertambah.
           Kewibawaan yang efektif menurut Charles Schaefer (1996:86) didasarkan atas pengetahuan yang lebih utama atau keahlian yang dilaksanakan dalam suatu suasana kasih sayang dan saling menghormati. Karenanya, guru diharapkan memiliki kewibawaan agar mampu membimbing siswa kepada pencapaian tujuan belajar yang sesungguhnya ingin direalisasikan. Wens Tanlain dkk. (1996:78) lebih tegas menjelaskan bahwa kewibawaan adalah adanya penerimaan, pengakuan, kepercayaan siswa terhadap guru sebagai pendidik yang memberi bantuan, tuntunan dan nilai-nilai manusiawi. Kewibawaan meliputi:
    a. Pengakuan adalah penerimaan dan perlakuan guru terhadap anak didik atas dasar kedirian/kemanusiaan anak didik, serta penerimaan dan perilaku anak didik terhadap guru atas dasar status, peranan, dan kualitas yang tinggi.
    b. Kasih sayang dan kelembutan adalah sikap, perlakuan, dan komunikasi guru terhadap anak didik didasarkan atas hubungan sosio-emosional yang dekat-akrab-terbuka, fasilitatif, dan permisif-konstruktif bersifat pengembangan. Dasar dari suasana hubungan seperti ini adalah love dan caring dengan fokus segala sesuatu diarahkan untuk kepentingan dan kebahagiaan anak didik, sesuai dengan prinsip-prinsip humanistik.
    c. Penguatan adalah upaya guru untuk meneguhkan tingkah laku positif anak didik melalui bentuk-bentuk pemberian penghargaan secara tepat yang menguatkan (reinforcement). Pemberian penguatan didasarkan pada kaidah-kaidah pengubahan tingkah laku.
    d. Pengarahan adalah upaya guru untuk mewujudkan ke mana anak didik membina diri dan berkembang. Upaya yang bernuansa direktif ini, termasuk di dalamnya kepemimpinan guru, tidak mengurangi kebebasan anak didik sebagai subjek yang pada dasarnya otonom dan diarahkan untuk menjadi pribadi yang mandiri.

   e. Tindakan tegas yang mendidik adalah upaya guru untuk mengubah tingkah laku anak didik yang kurang dikehendaki melalui penyadaran anak didik atas kekeliruannya dengan tetap menjunjung kemanusiaan anak didik serta tetap menjaga hubungan baik antara anak didik dan guru. Dengan tindakan tegas yang menddik ini, tindakan menghukum yang menimbulkan suasana negatif pada diri anak didik dihindarkan.
    f. Keteladanan adalah penampilan positif dan normatif guru yang diterima dan ditiru oleh anak didik. Dasar dari keteladanan adalah konformitas sebagai hasil pengaruh sosial dari orang lain, dari yang berpola compliance, identification, sampai internalization (Musen & Rosenzweig, 1973).
           Seorang guru menurut Hadiyanto (2004:30), merupakan manusia terhormat dalam segala aspek, yang harus menjadi suri tauladan di kelas dan di luar kelas, baik dalam hal kemampuan berpikir, bersikap, maupun bertutur kata yang tercermin dari tingkah lakunya. T. Raka Joni (1982:65) menyatakan bahwa karakteristik guru meliputi:
a. penguasaan materi yang mantap,
b. sepenuh hati menyukai bidangnya,
c. menguasai berbagai strategi pembelajaran,
d. mampu mengelola kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok dan individual
e. mengutamakan standar prestasi yang tinggi untuk siswa dan dirinya, dan
f. dekat dan suka bergaul dengan siswa.
           Dengan demikian, guru harus memiliki kemampuan, keterampilan, pandangan yang luas serta harus memiliki kewibawaan dan kesungguhan melaksanakan tanggung jawabnya.
Kewibawaan guru tersebut di atas harus didasarkan pada proses internalisasi pada diri peserta didik. Menurut T. Raka Joni (1985:66) bahwa proses internalisasi tercermin pada pendekatan guru yang dekat dengan siswa, luwes tetapi tegas dan sistematis dalam pengaturan kerja. Artinya bahwa proses internalisasi pada diri peserta didik berlangsung melalui diaktifkannya kekuatan yang ada pada mereka melalui pendekatan yang digunakan guru yaitu kekuatan berpikir, merasakan dan berpengalaman yang semuanya itu terpadu dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap apa yang akan dilakukan.
           Prayitno (2002:14) menyatakan bahwa dalam proses pendidikan ada kedekatan antara pendidik dan peserta didik. Lebih jauh Prayitno (2002:14) menjelaskan bahwa pamrih-pamrih yang ada, selain dapat merugikan dan membebani peserta didik, merupakan pencederaan terhadap makna pendidikan dan menurunkan kewibawaan pendidik. Sejalan dengan itu, Muhibbin Syah (1997:221) menyatakan bahwa wibawa guru di mata murid kian jatuh. Khususnya di sekolah-sekolah kota yang hanya menghormati guru apabila ada maksud-maksud tertentu seperti untuk mendapatkan nilai tinggi dan dispensasi.

IX. PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PENDIDIKAN
   
Ø  Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini
Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global.

Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.

Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sector kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah perubahan social adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.

o   Permasalahan Globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai Nampak.

Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO.

Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).

Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah menengah.

Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan nasional.

Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.

o   Permasalahan perubahan sosial
Ada sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya, perubahan sosial merupakan peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada perubahan sosial yang berjalan lambat dan ada pula yang berjalan cepat.

Bahkan salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan inovasi-inovasi sosial, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks.

Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan sosial berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991: 28). Dalam kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.

o   Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini
Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.

o   Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).

Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya sebagai urusan pribadi.

Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan makalah ini.

o   Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan.

Menurut Suyanto (2006: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.

Lebih jauh Suyanto (2006: 28) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi profesi.

Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.

o   Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2006: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept). Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).

Meskipun dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme guru.

X. SEKOLAH ISLAM TERPADU
  Munculnya berbagai lembaga pendidikan berlabel Islam di tanah air pada periode awal tahun 2000 memang cukup memberikan angin segar bagi para orang tua yang khawatir terhadap kondisi pergaulan putra – putrinya di bangku sekolah. Memang tidak kita pungkiri sebelumnya telah ada beberapa organisasi Islam yang juga menggarap ladang pendidikan ini secara kontinu. Namun kemunculan lembaga pendidikan berlabel Islam akhir – akhir ini yang semakin banyak dan tidak hanya dipegang oleh organisasi Islam tertentu agaknya memang hal tersebut berperan sebagai respon dari masyarakat yang membaik terhadap lembaga pendidikan berlabel Islam (sekolah Islam).
            Sekolah Islam sebelumnya sempat mendapatkan stigma negatif dari masyarakat secara umum. Masyarakat menilai bahwa sekolah Islam adalah kasta kelas dua, jika putra – putrinya tidak masuk ke sekolah umum barulah mereka mau memasukkan putra – putri mereka ke sekolah Islam. Alih – alih untuk membuat putra – putri mereka lebih baik dengan menuntut ilmu di sekolah Islam, beberapa dari orang tua siswa masih berpikir, daripada tidak bersekolah, lebih baik di sekolahkan di sekolah yang Islam saja. Jikalau niatnya saja sudah seperti itu maka output yang dihasilkan sudah bisa kita tebak seperti apa nantinya.
            Output pendidikan Islam yang sebenarnya dapat kita baca dari pengertian Ibnu Qayyim Al Jauziyah, beliau mengartikan pendidikan yang seringkali disebut dengan tarbiyah. Tarbiyah menurut beliau, mencakup tarbiyah qalb (pendidikan hati) dan tarbiyah badan secara sekaligus. Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan tarbiyah. Keduanya harus ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh dengan sempurna dan lebih baik dari sebelumnya (Al Jauziyah, 2011). Dengan pendidikan yang seimbang (tawazun) antara hati dan akal maka akan didapatkan kualitas sumber daya manusia yang luar biasa sesuai dengan ciri seorang muslim yang sempurna.
            Namun sayangnya semakin tahun kepekaaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan ini semakin menurun, Menurun secara substansial dari pengertian pendidikan yang telah disebutkan di atas. Kita bisa melihat dari target yang ditetapkan pemerintah dan secara otomatis menjadi pola pikir dari orang tua murid, yaitu nilai dengan ambang batas tertentu. Tahun 2011 formula nilai akhir penentu kelulusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan sederajat, serta sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat, ditetapkan dengan menggabungkan nilai mata pelajaran ujian nasional (UN) dengan nilai sekolah. Nilai akhir adalah pembobotan 60 persen nilai UN ditambah 40 persen nilai sekolah. Syarat kelulusan lainnya adalah nilai tiap mata pelajaran minimal 4,00 dan tidak ada ujian ulangan. (Kompas, 2011). Targetnya masih berupa nilai – nilai atau angka – angka, belum ada targetan terkait akhlak dari peserta didik. Targetan lain, akhlak misalnya yang sebenarnya tidak harus masuk ke dalam syarat kelulusan itu ternyata juga tidak sepebuhnya dipahami oleh seluruh staf pengajar di sekolah – sekolah umum. Mereka lebih mementingkan pintar secara akal dan lulus dengan nilai yang memuaskan serta menambah nilai jual dari sekolah yang bersangkutan jika lebih sedikit persentase yang tidak lulus.
            Padahal jika dilihat lebih mendalam, stigma tentang kualitas output siswa dari sekolah Islam tidak sepenuhnya benar. Di novel Laskar Pelangi (Hirata, 2008) yang juga mengecap pendidikan dasarnya di sekolah Islam Muhammadiyah Belitong mengalami pematangan akhlak disana, karena sekolah tersebut tidak hanya berdasarkan nilai angka, tapi hati lah yang harus juga ikut ‘disekolahkan’. Akhirnya dia juga menjadi peraih beasiswa ke luar negeri tanpa mengesampingkan pendidikan akhlak yang di peroleh di sekolahnya dulu. Lain cerita seperti pengarang novel Negeri Lima Menara, Achmad Fuadi yang awalnya ‘dipaksa’ untuk melanjutkan pendidikan di sekolah Islam pondok pesantren modern Gontor, Ponorogo. Keinginan ibunya untuk menjadikan dia seorang sosok intelektual religius seperti Buya Hamka telah mengantarkannya merasakan pendidikan yang disampaikan dengan ikhlas oleh para kyai nya di pondok (Fuadi, 2010). Bahkan jargon yang sangat kita kenal dan menjadi kata – kata motivasi dari novel ini adalah ‘Man Jadda Wa Jada’ yang artinya barangsiapa bersungguh – sungguh pasti dia akan berhasil/sukses. Hal ini yang tidak menghalangi pengarang dan juga seluruh siswa di sekolah Islam untuk menjadi seorang pribadi yang sukses dalam urusan dunia dan juga agama. Dalam ungkapan salah seorang sahabat pun juga disebutkan “Bersungguh – sungguhlah kalian dalam urusan agama seolah – olah kalian mati esok pagi dan juga bersungguh sungguhlah dalam urusan dunia seolah engkau akan hidup selamanya”.
            Sekolah Islam yang sekarang sudah mulai ‘terasa’ bedanya di masyarakat, penerimaan mereka terhadap sekolah Islam mulai meningkat, terutama pada sekolah Islam terpadu. Pengajaran di sekolah Islam terpadu yang cukup menarik membuat anak didik tidak jenuh dan lebih mengenal Islam dengan menyenangkan. Salah satu contohnya lewat berbagai permainan yang disisipi hikmah, mengajari hafalan dengan lagu anak – anak tidak lupa pula penyampaian cerita sejarah Islam dan para nabi dengan bermain peran dan lain sebagainya. Lebih menarik adalah pengajaran moral yang diterapkan dengan cara learning by doing dan juga diajarkan secara langsung oleh ustadz atau ustadzah mereka. Fokus utamanya adalah untuk membentuk akhlak yang Islami (Fauziddin, 2009). 
Makalah ini mencoba untuk memberikan arahan mengenai lembaga pendidikan yang dapat membantu anak – anak mengerti Islam dengan menyenangkan. Selain itu juga menggali keunggulan apa saja yang ada pada sekolah islam terpadu tentang sistem pengajaran dan penanaman akhlak kepada anak didiknya.
PEMBAHASAN
Sekolah Islam Terpadu menjadi sebuah fenomena dalam pendidikan kita. Pertama, secara historis memang bangsa Indonesia tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai religius yang menjadi sumber dan daya kekuatan bangsa ini. Sesungguhnya yang memperjuangkan bangsa ini di garis depan adalah kaum santri yang siap berjuang dan berperang. Tapi, tidak semua ternyata memegang senjata, ada diplomat ulung seperti K.H. Agus Salim, Guru dari para Founding Fathers kita HOS. Cokroaminoto, dua pendidir Ormas besar yang bertujuan untuk kemerdekaan bangsa, K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), negarawan seperti M. Natsir atau seorang tokoh militer bintang lima seperti Jenderal Soedirman dan begitu banyak lagi. Mereka adalah para tokoh pesantren dan santri yang berjuang berdasarkan kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Kedua, pada dasarnya manusia selalu ingin kembali kepada fitrahnya. Allah SWT. telah menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik diantara makhluk-makhluknya yang lain yang mampu berfikir. Kecenderungan manusia mempengaruhi apa pilihannya. Setelah sekian lama manusia Indonesia dicekoki dengan sistem sekuler walau disamarkan membuat jiwa bangsa ini memberontak. Upaya-upaya untuk mencerabut bangsa ini dari akar budayanya ternyata tidak berhasil. Masyarakat bosan dengan Sistem Pendidikan Nasional dan model pendidikan umum yang terus memisahkan antara pendidikan agama (Islam) dengan pendidikan umum. Itulah fitrah manusia yang ingin memenuhi relung jiwanya dengan cahaya Allah.
Ketiga, Sekolah Islam Terpadu menawarkan hal yang lebih dibandingkan dengan pendidikan umum. Selain mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum, Sekolah Islam Terpadu juga memberikan siswanya skill sesuai dengan bakatnya masing-masing. Selain itu, pola pembelajarannya juga sedikit berbeda dan memang mengakomodir hak-hak siswa sebagai penuntut ilmu. Hal ini sebenarnya mencoba menjawab tantangan zaman yang ke depan akan masuk para era globalisasi dan perdagangan bebas. Anak-anak Indonesia harus sudah dibekali cara-cara manajerial, skill dan sebagainya yang menunjang dirinya untuk mampu bersaing.  Tentunya membentuk karakter mereka bukan untuk menjadi tenaga kerja tetapi yang membuka lapangan kerja. Ketiga hal itulah yang membuat Sekolah Islam Terpadu sangat diminati oleh sekian banyak masyarakat Indonesia saat ini (Sumantri, 2011)
                Ketiga hal di atas bisa menjadi dasar untuk mencoba menerapkan sistem pembelajaran yang dilakukan di sekolah islam terpadu, sehingga tidak melulu nilai angka yang diprioritaskan. Tapi mulai mengarah kepada nilai akhlak yang dimiliki anak didik nantinya. Fakta di lapangan mengenai cara mendidik di sekolah umum sangat berbeda dengan sekolah Islam terpadu yaitu dalam ‘mengolah’ anak didik mereka menjadi sumber daya manusia yang juga pintar secara perilaku. Misalnya saja, tidak kita temukan semacam permainan berhikmah di sekolah umum, berdoa pun tidak bisa dilafalkan dan dibenarkan panjang pendek serta makhorijul hurufnya karena dalam 1 kelas mungkin ada siswa yang beragama lain. Selain itu, yang lebih penting adalah seluruh mata pelajaran mulai dari eksak sampai sosial disampaikan tanpa bisa terpadu dengan agama Islam, hanya sesuai dengan capaian tersampaikannya materi tersebut.
            Masyarakat mulai sadar dan melihat bahwa pendidikan di sekolah dasar merupakan pondasi dari pendidikan selanjutnya. Pembentukan kecerdasan tidak hanya dinilai dari umum tapi juga agama, khususnya agama Islam. Masa pendidikan dasar adalah masa pendidikan moral. Hal ini yang akan menentukan bagaimana anak berkembang. Kemerosotan moral yang terjadi pun juga disebabkan salah satunya oleh penanaman nilai agama pada anak usia dini yang diabaikan (Dewi, 2010).
            Berbagai metode pengajaran di sekolah Islam terpadu yang menarik siswa untuk lebih paham dan kemudian mengikuti apa yang diajarkan ustadz/ustadzah mereka antara lain sebagai berikut : kelas diawali dengan membaca doa akan belajar, syahadat, surat fatihah, murojaah (mengulang hafalan), ikrar, tata tertib, dan absensi. Selanjutnya pembelajaran materi Al islam dengan menggunakan  pendekatan belajar melalui bermain.
            Kelebihan yang dimikili oleh sekolah Islam terpadu yaitu prinsip learning by doing.  Siswa terlibat langsung dalam, pengalaman yang konkrit dengan suatu materi. Aktivitas di mana mereka berpartisipasi dengan sesuatu yang relevan dan penuh arti. Kemudian juga adanya reward and punihsment yang mendidik, jika salah seorang anak didik melakukan kesalahan maka respon yang dilakukan oleh ustadz/ustadzahnya bukanlah memarahi mereka, justru mengajak dialog hingga anak didik tahu benar dimana letak kesalahan yang dia lakukan. Dengan cara ini diharapkan anak didik tidak mengulangi kesalahannya lagi karena mereka telah paham bahwa perbuatannya tidak benar. Pembiasaan lainnya lewat contoh pun juga berlaku sebaliknya, jika salah seorang pengajar melakukan kesalahan yang diketahui anak didiknya, misalnya ketika masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka pengajar lainnya akan menegur dan menanyakan kepada anak didik lainnya bagaimanakah seharusnya perilaku yang benar. Dari kedua contoh tersebut dapat dilihat bahwa sang anak didik benar – benar mendapatkan contoh nyata yang harus mereka lakukan, sehingga mereka lebih mudah menirunya.
            Dalam sekolah islam terpadu, guru tetap memegang peranan yang  penting dalam proses pendidikan, yaitu dakam penanaman  nilai.  Hal  ini  sesuai dengan yang diungkapkan Chomaidi bahwa “peranan guru bukan sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus sebagai pelaku  dan  sumber  nilai  yang  menuntut  tanggung  jawab  dan  kemampuan dalam  upaya meningkatkan  kualitas  pembangunan manusia  seutuhnya,  baik yang  bersifat  lahiriyah maupun  yang  bersifat  batiniah  (fisik  dan  non  fisik). Artinya yang dibangun adalah karakter, watak, pribadi manusia yang memiliki kualitas  iman,  kualitas  kerja,  kualitas  hidup,  kualitas pikiran, perasaan, dan kemauan (Chomaidi, 2005)”. Guru di sekolah islam terpadu berperan sebagai orang tua siswa saat di sekolah, bahkan pengawasan siswa ketika di rumah pun juga masih dipantau lewat orang tuanya, adakah perubahan positif dari anak didiknya.
PENUTUP
            Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa sekolah Islam terpadu merupakan alternatif yang baik untuk mencetak anak didik yang cerdas secara akal dan juga hati. Orangtua yang khawatir akan kondisi masa depan akhlak putra – putrinya yang dalam hal ini dapat menentukan kondisi bangsa di masa depan dapat mulai untuk beralih sudut pandang mengenai pendidikan yang terbaik untuk buah hatinya.
Melihat respon yang cukup baik dari masyarakat dan juga banyaknya bermunculan sekolah Islam terpadu, agaknya pemerintah juga perlu memberikan perhatiannya pada lembaga ini. Akan lebih baik lagi jika beberapa model pengajaran sekolah islam terpadu juga diterapkan pada pengajaran mata pelajaran di sekolah umum.


Sekolah Islam yang awalnya kurang diperhitungkan, mampu membuktikan bahwa degan sentuhan agama, anak-anak tak hanya unggul secara akademik, tapi juga kepribadian.

Diawal berdirinya, sekolah Islam terpadu ingin mengubah citra sekolah Islam yang dianggap kurang kompetitif dengan sekolah umum maupun sekolah non-Islam pada umumnya. Saat itu, sekolah pada umumnya hanya menekankan kepentingan akademik dan masalah agama menjadi hal yang kurang ditanamkan.

Dalam acara Milad ke 10 Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JIST), Ketua JIST, Sukro Muhab, Jumat (31/1), menuturkan, diawal kemunculan sekolah Islam terpadu yang memadukan pengetahuan dan agama, berhasil melahirkan anak-anak yang tidak hanya baik akademiknya, tapi juga memiliki akidah bersih, beribadah dengan benar, dan mampu menghafal Alquran.

Selain itu, sejak 1980an, kesadaran Islam masyarakat juga meningkat, terutama di kalangan ekonomi menengah ke atas. Muncullah kecenderungan masyarakat memilih menyekolahkan anaknya di sekolah Islam.

Awalnya JSIT hanya menargetkan satu model SMPIT dan SMAIT di tiap kabupaten dan satu SDIT di tiap kecamatan dengan harapan model ini dikembangkan masyarakat setempat. Ternyata, masyarakat ingin anak-anaknya disekolahkan di sekolah Islam terpadu maka jumlah sekolah Islam terpadu ini jadi banyak.

Sekolah Islam terpadu juga ingin memperlihatkan, anak-anak diajarkan dan berhasil menghafal Alquran juga bisa juara olympiade, rangkingnya baik, keterampilan seninya pun bagus. ''Jadi yang awalnya hanya ingin menyelamatkan generasi, justru bisa lebih. Jadi uniknya, anak-anak yang hafal Alquran juga baik akademiknya,'' ungkapnya.

Kurikulum 2013 menyatakan sikap lebih penting. Kami sudah membentuk itu lebih dulu. Ternyata dengan sentuhan nilai agama, tumbuh motivasi dan orientasi belajar sebagai ibadah, bukan hanya untuk ujian. Sehingga anak-anak yang agamanya berkualitas, akan berkualitas juga akademiknya.





















BAB III
PENUTUP

v  Kesimpulan

1.      Sistem pendidikan merupakan jumlah keseluruhan dari bagian-bagiannya yang saling bekerjasama untuk mencapai hasil yang diharapakan berdasarkan atas kebutuhan yang telah ditentukan. Setiap sistem pasti mempunyai tujuan, dan semua kegiatan dari semua komponen atau bagian-bagiannya adalah diarahkan untuk tercapainya tujuan terebut. Pendidikan merupakan suatu sistem yang mempunyai unsur-unsur tujuan/sasaran pendidikan, peserta didik, pengelola pendidikan, struktur atau jenjang, kurikulum dan peralatan/fasilitas.

2.      Pendidikan nasional merupakan suatu usaha untuk membimbing para warga negara Indonesia menjadi pacasila, yang berpribadi, berdasarkan akan Ketuhanan berkesadaran masyarakat dan mampu membudayakan alam sekitar. Serta tujuan dari pendidikan nasional itu yakni membangun kualitas manusia yang bertakwa kpada Tuhan yang Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan dengan-Nya sebagai warga negara yang berjiwa pancasila mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti yang luhur dan berkribadian yang kuat, cerdas, terampil, dapat mengembangkan dan menyuburkan sikf domokrasi, dapat memelihara hubungan yang baik antara sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu mengembangkan daya estetik, berkesanggupan untuk membangun diri dan masyarakatnya

3.      Hakekat manusia adalah kebenaran atas diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Tetapi terdapat dua sudut pandang yang dapat digunakan untuk memahami apa hakekat manusia itu, yaitu dari pandangan umum dan pandangan agama Islam.
4.            Hakekat manusia menurut pandangan umum mempunyai arti bermacam-macam, karena tedapat berbagai ilmu dan perspektif yang memaknai hakekat manusia itu sendiri. Seperti dalam perspektif filsafat menyimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual. Dalam perspektif ekonomi mengatakan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi. Perspektif Sosiologi melihat bahwa manusia adalah makhluk social yang sejak lahir hingga matinya tidak pernah lepas dari manusia lainnya. Sedangkan, perspektif antropologi berpendapat manusia adalah makhluk antropologis yang mengalami perubahan dan evolusi. Dan dalam perspektif psikologi, manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa.
5.            Hakekat manusia menurut pandangan Islam:
a.       Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT.
b.      Kemandirian dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).
c.       Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas.

6.      Suatu pendidikan di mulai dari keberadaan manusia pada zaman primitif  sampai zaman modern (masa kini), bahkan selama masih ada kehidupan manusia didunia pendidikan akan tetap berlangsung karena itu adalah hakikat manusia dalam kehidupannya.
Dalam pendidikan ada 1). Tujuan pendidikan yaitu: mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 2). Pendidik atau guru banyak diartikan orang, ada yang mengatakan di gugu lan ditiru (Jawa), yaitu orang yang harus di gugu dan di tiru oleh semua muridnya. Artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan di yakini sebagai kebenaran oleh semua muridnya dan sekaligus untuk diteladani.3). Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi perkembangan mental.4). kurikulum adalah rumusan, tujuan mata pelajaran, garis besar pokok bahasan penilaian dan perangkat lainnya.5). metode pembelajaran.
7.      Membangun karakter peserta didik di era globalisasi
dewasa ini antara lain :
(1) moral para pemuda sangatlah perlu untuk
dibenahi,
(2) diperlukan langkah untuk mengantisipasi
pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai
nasionalisme,
(3) mengembangkan teori dan model-model atau
strategi pembelajaran moral yang berpijak pada
karakteristik siswa dan budayanya,
(4) orang tua sedini mungkin menanamkan kesadaran
kepada anak tentang pentingnya sebuah kebaikan
8.      VISI, MISI, FUNGSI, TUJUAN, DAN STRATEGI PENDIDIKAN NASIONAL

Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

UUSPN dari No. 2 tahun 1989 diganti UU No. 20 tahun 2003, dilakukan dalam rangka memperbarui visi, misi dan strategi pendidikan nasional. Pembaruan sistem pendidikan nasional mencakup penghapusan diskriminasi antara pendidikan formal dan pendidikan non-formal.

Visi pendidikan nasional adalah memberdayakan semua warga negara Indonesia, sehingga dapat berkembang menjadi manusia berkualitas yang mampu bersaing dan sekaligus bersanding dalam menjawab tantangan zaman.

Misi pendidikan nasional adalah:

-   Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.

-   Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.

-   Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.

-   Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan, ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.

-   Memberdayakan peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks NKRI.



Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, maka fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi-potensi peserta didik yang menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Strategi pendidikan nasional adalah:

- Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia.

- Pengembangan dan pelaksanaan kurkulum berbasis kompetensi.

- Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis.

- Evaluasi, akreditasi dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan.

- Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan.

- Penyediaan sarana belajar yang mendidik.

- Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan.

- Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata.

- Pelaksanaan wajib belajar.

- Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan.

- Pemberdayaan peran masyarakat.

- Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat.

- Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.



Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap perubahan zaman. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3.
9.      Pendidikan adalah Suatu Konsep dasar yang bersifat atu bertujuan mengarahkan membimbing dan membina dari suatu hal yang tidak diketahui menjadi suatu hal yang diketahui baik secara umum maupun pribadi. dengan struktur, arahan, sarana dan prasarana yang telah terencana sehingga mendukung proses pendidikan tersebut dan dapat dihasil kan suatu serapan materi yang penting. Biasanya hal ini berkaitan dengan landasan dan ketulusan hati sehingga materi yang disampaikan dapat dipahami secara terbuka.

Jadi Pendidikan itu adalah sesuatu Hal yang dibutuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan akal dan rohani.

10.  Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan unsur komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional merupakan pendidikan yang didasarkan pada Pancasila & UUD 1945 yang besumber pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia & tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman
Sebagai negara konstitusional, segala sesuatu termasuk pendidikan nasional tentu bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi peserta didik yang beriman, bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, madiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
11.  Tujuan wibawa pendidikan adalah berusaha membawa anak ke arah kedewasaannya. Ini berarti secara beangsur-angsur anak dapat mengenal nilai-nilai hidup atau norma-norma dan menyesuaikan diri dengan norma-norma itu dalam hidupnya. Bagaimana norma-norma dan nilai identifikasi nilai hidup itu diterima dan dimiliki anak? Syarat mutlak dalam pendidikan adalah adanya kewibawaan pada pendidik. Tanpa kewibawaan, pendidik tidak akan berhasil baik.
12.  Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.
13.  Sesungguhnya sekolah terpadu adalah sekolah yang berupaya mewujudkan suatu institusi pendidikan yang berbasiskan pada pandangan manusia secara holistic. Manusia yang menjadi subyek didik adalah makhluk yang kompleks, yang di dalamnya tersusun sejumlah aspek yang kemudian bermuara pada satu eksistensi. Oleh karena itu, proses pembelajaran hendaknya menyesuaikan diri dengan sifat-sifat dan kecenderungan manusia baik sebagai individu mapun sebagai makhluk social.
14.  Pada sisi lain, sekolah terpadu adalah upaya untuk memunculkan solusi (jalan keluar) dari keterpurukan model dan pola pendidikan yang selama ini diterapkan di tengah-tengah kita, yang terbukti tidak mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yang kompetitif dan sekaligus memiliki integritas dan moralitas yang tinggi.
15.  Akhirnya, kita dapatkan suatu kejelasan bahwa sesungguhnya sekolah terpadu adalah sekolah yang dibangun dengan pendekatan criteria sekolah efektif, yang dengan criteria itu sekolah-sekolah terbaik di seluruh dunia telah membuktikan dirinya menjadi lembaga pendidikan yang mampu melahirkan lulusan-lulusan terbaik untuk mereka sumbangkan bagi kemajuan Negara dan bangsa mereka.
DAFTAR PUSTAKA

§  http://kartika-d.blogspot.com/2014/05/hakikat-manusia-menurut-pandangan-umum.html
§  http://keajaibanikhlas.blogspot.com/2013/02/hakikat-pendidikan.html
§  https://veronikacloset.files.wordpress.com/2010/06/metode-mengajar.pdf
§  http://zhalabe.blogspot.com/2012/03/visi-dan-misi-pendidikan-nasional.html#.VFTm23bNu1s
§  http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/3302
§  http://arafah127.blogspot.com/p/pengertian-unsur-unsur-dan-fungsi.html
§  slideshare.net/ahmadamrizal/01uu-no20-tahun-2003-tentang-sistem-pendidikan-nasional
§  http://ulylamri17.blogspot.com/2013/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
§  http://fitwiethayalisyi.wordpress.com/teknologi-pendidikan/permasalahan-pendidikan-masa-kini/
§  http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/01/31/n09e3d-sekolah-islam-terpadu-keberhasilan-melampaui-niatan
§  http://nuansatiti.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
§  taff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Prof. Dr. Achmad Dardiri, M.Hum./handout - ILMU PENDIDIKAN.pdf
§  http://www.journalhome.com/nfbs/16130/







0 komentar:

Posting Komentar