TUGAS MATA KULIAH
Dosen: Ust
SYAHRONI
Disusun oleh: Muhamad Dudy Safaat
Jurusan: MPI
PROGRAM: EKSTENSI
Fakultas Tarbiyah
STAI AL-QUDWAH
Tahun 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pendidikan nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokraris serta bertanggung
jawab.Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sistem pendidikan Indonesia yang telah di bagun dari dulu sampai sekarang
ini, teryata masih belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan
global untuk masa yang akan datang, Program pemerataan dan peningkatan kulitas
pendidikan yang selama ini menjadi fokus pembinaan masih menjadi masalah yang
menonjol dalam dunia pendidikan di Indonesia ini.
Sementara itu jumlah penduduk usia
pendidikan dasar yang berada di luar dari sistem pendidikan nasional ini masih
sangatlah banyak jumlahnya, dunia pendidikan kita masih berhadapan dengan
berbagai masalah internal yang mendasar dan bersifat komplek, selain itu pula
bangsa Indonesia ini masih menghadapi
sejumlah problematika yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan mendasar
sampai pendidikan tinggi.
Kualitas pendidikan di Indonesia
masih jauh yang di harapkan, oleh karena itu upaya untuk membagun SDM yang
berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya bukanlah
suatu pekerjaan yang gampang, di butuhkanya partisipasi yang strategis dari
berbagai komponen yaitu : Pendidikan awal di keluarga , Kontrol efektif dari
masyarakat, dan pentingnya penerapan sistem pendidikan pendidikan yang khas dan
berkualitas oleh Negara.
Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan
dibahas adalah sebagai berikut:
1. Apa Pengertian ilmu pendidikan?
2. hakikat manusia?
3. hakikat pendidikan?
4. karakteristik peserta didik?
5. visi-misi tujuan akses pendidikan?
6. unsur-unsur pendidikan?
7. sistem pednidikan nasional?
8. kewibawaan pendidik?
9. permasalahan-permasalahan pendidikan?
10. sekolah islam terpadu?
2. hakikat manusia?
3. hakikat pendidikan?
4. karakteristik peserta didik?
5. visi-misi tujuan akses pendidikan?
6. unsur-unsur pendidikan?
7. sistem pednidikan nasional?
8. kewibawaan pendidik?
9. permasalahan-permasalahan pendidikan?
10. sekolah islam terpadu?
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Mahasiswa mampu memahami Sistem Pendidikan.
2.
Mahasiswa mampu memahami berbagai komponen dari Sistem Pendidikan.
3. Mahasiswa mampu memahami realitas
Sistem Pendikan Nasional yang sedang berjalan saat ini.
D.
Manfaat Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian
Sistem Pendidikan.
2. Untuk mengetahui berbagai
komponen yang ada dalam sistem pendidikan.
3. Untuk mengetahui pengertian
Sistem Pendidikan Nasional.
D.
Metode Penulisan
Metode penuisan makalah ini adalah
dengan melihat sumbernya dari searching diinternet yang sesuai dengan topik
yakni tentang ilmu pendidikan.
Add caption |
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan adalah ilmu yang membicarakan
masalah-masalah yang berkaitan dengan persoalan pendidikan atau ilmu yang
mempersoalkan pendidikan dan kegiatan pendidikan.
Istilah education dalam bahasa
inggris yang berasal dari bahasa latin educare yang artinya memasukkan sesuatu,
barang kali bermaksud memasukkan ilmu ke kepala orang . Dalam bahasa Arab ada
beberapa istilah yang biasa digunakan dalam pengertian pendidikan, diantaranya
ta’lim, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran:
وَعَلَّمَ
آدَمَ ْلأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ اَنْبِئُوْنِي
بِاَسْمآءِ هَؤُلَآءِاِنْكُنْتُمْ صَادِقِيْن
Artinnya
“Dan Allah SWT mengajarkan kepada Adam segala nama, kemudian Ia berkata kepada
malaikat : beri tahulah aku nama-nama semua itu jika kamu benar”.(Q.S.
Al-Baqarah : 31).
Ada
juga kata tarbiyah yang digunakan untuk pendidikan. Seperti firman Allah dalam
A-Quran:
وَقُلْ
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَارَبَّيَانِي صَغِيْرًا
Artinya
“Hai tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku sewaktu
kecil”.(Q.S. Bani Israil : 24)
Kata pendidikan sering kali diartikan dalam kehidupan sehari-hari
dengan lembaga pendidikan dan adakalah diartikan dengan hasil pendidikan.
Menurut
Dictionary of education ; Pendidikan diartikan, proses sosial yang di mana
orang-orang atau anak dipengaruhi dengan lingkungan yang (sengaja) dipilih dan
dikendalikan (misalnya oleh guru di sekolah) sehingga mereka memperolah
kemampuan-kemampuan sosial dan perkembangan individu yang optimal. Sedangkan menurut
Ki Hajar Dewantara , mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
II.
Hakekat
Manusia Menurut Pandangan Umum
Pembicaraan manusia dapat ditinjau dalam berbagai perspektif, misalnya
perspektif filasafat, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, dan
spiritualitas Islam atau tasawuf, anatar lain :
a. Dalam
perspektif filsafat.
Disimpulkan
bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual.
Dengan nalar intelektual itulah manusia dapat berpikir, menganalisis,
memperkirakan, meyimpulkan, membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual
ini pula yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek,
antara yang salah dan yang benar.
1. Hakekat
Manusia
Pada
saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang
asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua
aliran pokok filsafat yang memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme
dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968). Menurut
Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari
mata rantai evolusi yang terjadi di
alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam
semesta ada dengan sendirinya berkembang dari alam itu
sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert Spencer,
Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, Kreasionisme
menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah
ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran
ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Memang kita
dapat menerima gagasan tentang adanya
proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri
manusia, tetapi tentunya kita menolak pandangan
yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil
evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta.
2. Wujud dan
Potensi Manusia.
Wujud
Manusia. menurut penganut aliran Materialisme yaitu
Julien de La Mettrie bahwa esensi manusia
semata-mata bersifat badani, esensi manusia
adalah tubuh atau fisiknya. Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan,
spiritual atau rohaniah dipandangnya hanya sebagai
resonansi dari berfungsinya badan atau
organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ
tubuh luka muncullah rasa sakit. Pandangan hubungan
antara badan dan jiwa seperti itu
dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968). Bertentangan
dengan gagasan Julien de La Metrie, menurut
Plato salah seorang penganut aliran Idealisme -bahwa
esensi manusia bersifat kejiwaan/spiritual/rohaniah.
Memang Plato tidak mengingkari adanya
aspek badan, namun menurut dia jiwa
mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan.
b. Dalam Perspektif Ekonomi.
Dalam
perspektif ekonomi, manusia adalah makhluk ekonomi, yang dalam kehidupannya
tidak dapat lepas dari persoalan-persoalan ekonomi. Komunikasi interpersonal
untuk memenuhi hajat-hajat ekonomi atau kebutuhan-kebutuhan hidup sangat
menghiasi kehidupan mereka.
c. Dalam
Perspektif Sosiologi.
Manusia adalah makhluk social yang sejak lahir hingga matinya tidak pernah
lepas dari manusia lainnya. Bahkan, pola hidup bersama yang saling membutuhkan
dan saling ketergantungan menjadi hal yang dinafikkan dalam kehidupan
sehari-hari manusia.
d. Dalam
Perspektif Antropologi.
Manusia adalah makhluk antropologis yang mengalami perubahan dan evolusi. Ia
senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan yang dinamis.[2]
e. Dalam
Perspektif Psikologi.
Manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa. Jiwa merupakan hal yang esensisal
dari diri manusia dan kemanusiaannya. Dengan jiwa inilah, manusia dapat
berkehendak, berpikir, dan berkemauan.[3]
C.
Hakekat
Manusia Menurut Pandangan Islam
Penciptaan
manusia terdiri dari bentuk jasmani yang bersifat kongkrit, juga disertai pemberian
sebagian Ruh ciptaan Allah swt yang bersifat abstrak. Manusia dicirikan oleh
sebuah intelegensi sentral atau total bukan sekedar parsial atau pinggiran.
Manusia dicirikan oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar
refles-refleks egoistis. Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar
dunia inderawi, meskipun barangkali memiliki kepekaan tentang yang sakral.[4]
Manusia perlu mengenali hakekat dirinya, agar akal yang digunakannya untuk
menguasai alam dan jagad raya yang maha luas dikendalikan oleh iman, sehingga
mampu mengenali ke-Maha Pekasaan Allah dalam mencipta dan mengendalikan
kehidupan ciptaanNya. Dalam memahami ayat-ayat Allah dalam kesadaran akan
hakekat dirinya, manusia menjadi mampu memberi arti dan makna hidupnya, yang
harus diisi dengan patuh dan taat pada perintah-perintah dan berusaha menjauhi
larangan-larangan Allah. Berikut adalah hakekat manusia menurut pandangan
Islam:
1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT.
Hakekat pertama ini berlaku umum bagi seluruh jagat raya
dan isinya yang bersifat baru, sebagai ciptaan Allah SWT di luar alam yang
disebut akhirat. Alam ciptaan meupakan alam nyata yang konkrit, sedang alam
akhirat merupakan ciptaan yang ghaib, kecuali Allah SWT yang bersifat ghaib
bukan ciptaan, yang ada karena adanya sendiri.[5]
Firman
Allah SWT mengenai penciptaan manusia dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5 :
فانا خلقناكم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة
لنبين لكم
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air
mani menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging yang diberi bentuk dan
yang tidak berbentuk, untuk Kami perlihatkan kekuasaan Tuhanmu.”
Firman tersebut menjelaskan pada manusia tentang
asal muasal dirinya, bahwa hanya manusia pertama Nabi Adam AS yang diciptakan
langsung dari tanah, sedang istrinya diciptakan dari satu bagian tubuh
suaminya. Setelah itu semua manusia berikutnya diciptakan melalui
perantaraan seorang ibu dan dari seorang ayah, yang dimulai dari setetes air
mani yang dipertemukan dengan sel telur di dalam rahim.
Hakikat pertama ini berlaku pada umumnya manusia di
seluruh jagad raya sebagai ciptaan Allah diluar alam yang disebut akhirat. Alam
ciptaan merupakan alam nyata yang konkrit sedangkan alam akhirat merupakan
ciptaan yang ghaib kecuali Allah yang bersifat ghaib bukan ciptaan yang ada
karena dirinya sendiri.
2. Kemandirian
dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).
Kemanunggalan tubuh dan jiwa yang diciptakan Allah SWT ,
merupakan satu diri individu yang berbeda dengan yang lain. setiap manusia dari
individu memiliki jati diri masing - masing. Jati diri tersebut merupakan aspek
dari fisik dan psikis di dalam kesatuan. Setiap individu mengalami perkembangan
dan berusah untuk mengenali jati dirinya sehingga mereka menyadari bahwa
jati diri mereka berbeda dengan yang lain. Firman Allah dalam Q.S.
Al-A’raf 189:
هو الذي خلقكم من نفس واحدة
“Dialah
yang menciptakanmu dari satu diri”
Firman tersebut jelas menyatakan bahwa sebagai satu diri (individu) dalam
merealisasikan dirinya melalui kehidupan, ternyata diantaranya terdapat manusia
yang mampu mensyukurinya dan menjadi beriman.
Di dalam
sabda Rasulullah SAW menjelaskan petunjuk tentang cara mewujudkan sosialitas
yang diridhoiNya, diantara hadist tersebut mengatakan:
“Seorang dari kamu tidak beriman sebelum mencintai kawannya seperti
mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
“Senyummu
kepada kawan adalah sedekah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban
dan Baihaqi)
Kebersamaan (sosialitas) hanya akan terwujud jika dalam keterhubungan itu
manusia mampu saling menempatkan sebagai subyek, untuk memungkinkannya menjalin
hubungan manusiawi yang efektif, sebagai hubungan yang disukai dan diridhai
Allah SWT.[6] Selain itu manusia merupakan suatu kaum
(masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan berhadapan dengan kaum
(masyarakat) yang lain. Manusia dalam perspektif agama Islam juga harus
menyadari bahwa pemeluk agama Islam adalah bersaudara satu dengan yang lain.[7]
3. Manusia Merupakan Makhluk yang
Terbatas.
Manusia
memiliki kebebasan dalam mewujudkan diri (self realization), baik sebagai satu
diri (individu) maupun sebagai makhluk social, terrnyata tidak dapat melepaskan
diri dari berbagai keterikatan yang membatasinya. Keterikatan atau keterbatasan
itu merupakan hakikat manusia yang melekat dan dibawa sejak manusia diciptakan
Allah SWT. Keterbatasan itu berbentuk tuntutan memikul tanggung jawab yang
lebih berat daripada makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab yang paling asasi
sudah dipikulkan ke pundak manusia pada saat berada dalam proses penciptaan
setiap anak cucu Adam berupa janji atau kesaksian akan menjalani hidup di dalam
fitrah beragama tauhid. Firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:
واذ اخذ ربك من بني ادم من ظهورهم ذريتهم واشدهم
على انفسهم الست بربكم قالوا بلى شهدنا
“Dan ingat lah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian jiwa mereka,
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami dan kami
bersaksi.”
Kesaksian tersebut merupakan sumpah yang mengikat
atau membatasi manusia sebagai individu bahwa didalam kehidupannya tidak akan
menyembah selain Allah SWT. Bersaksi akan menjadi manusia yang bertaqwa pada
Allah SWT. Manusia tidak bebas menyembah sesuatu selain Allah SWT, yang sebagai
perbuatan syirik dan kufur hanya akan mengantarkannya menjadi makhluk yang
terkutuk dan dimurkaiNya.[8]
III. HAKIKAT PENDIKAN
Hakikat pendidikan diartikan sebagai kupasan secara
konseptual terhadap kenyataan-kenyataan kehidupan manusia baik disadari maupun
tidak disadari manusia telah melaksanakan pendidikan mulai dari keberadaan
manusia pada zaman primitif sampai zaman
modern (masa kini), bahkan selama masih ada kehidupan manusia di dunia,
pendidikan akan tetap berlangsung. Kesadaran akan konsep tersebut diatas menunjukkan
bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan. Artinya sebagai pertanda bahwa manusia sebagai makluk budaya yang
salah satu tugas kebudayaan itu tampak pada proses pendidikan
(Syaifullah,1981).
Maka pembahasan tentang hakikat pendidikan merupakan
tinjauan yang menyeluruh dari segi kehidupan manusia yang menampakkan
konsep-konsep pendidikan. Karena itu pembahasan hakikat pendidikan meliputi
pengertian-pengertian: pendidikan dan ilmu pendidikan; pendidikan dan sekolah;
dan pendidikan sebagai aktifitas sepanjang hayat. Komponen-komponen pendidikan
yang meliputi: tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, kurikulum dan metode
pembelajaran.
IV.
KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK
1. Karakter Perkembangan Moral
Peserta Didik
1.1.Pandangan Kohlberg (Duska &
Whelan, 1979; Sprinthall,1977; Lickona,1975)
Berdasarkan pengamatan pada cara
berpikir yang biasanya digunakan orang dalam menghadapi dilema moral, Kohlberg
menemukan adanya enam tahap perkembangan moral orang dalam bertingkah laku,
yang satu sama lainnya berbeda. Berikut ini enam tingkat pertimbangan moral
menurut Kohlberg,
1). Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini orang menyesuaikan
diri dengan aturan-aturan adat dan budaya setempat tentang apa yang disebut
baik atau buruk, benar atau salah. Aturan itu mendapat wibawa dari akibat fisik
atau kenikmatan akibat perbuatannya, misalnya kalau berbuat salah dihukum,
sebaliknya kalau berbuat baik diberi hadiah. Di samping itu, juga dipengaruhi
oleh kekuatan fisik dari mereka yang menentukan aturan tersebut. Tahap pra
konvensional ini dibagi menjadi dua tingkat, yaitu:
a. Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Baik buruknya tindakan seseorang
ditentukan oleh akibat fisiknya, tanpa menghiraukan arti manusiawi dan nilai
tindakan itu. Menghindari hukuman dan menyerahkan diri pada yang berkuasa
(tanpa mempersoalkan) mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Orang taat dengan
motivasi takut menderita akibat ketidaktaatannya, bukan karena sikap hormat
terhada suatu tata moral yang didukung oleh hukum dan wibawa.
b. Orientasi Instrumentalis Relatif
Tindakan yang benar adalah tindakan
yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan sendiri, dan kadang-kadang kebutuhan orang
lain. Hubungan antara manusia dilihat seperti hubungan orang di pasar. Ada
unsur kewajaran, ketimbal-balikan, sama rata, namun selalu diartikan secara
fisik demi kebutuhan sendiri. Sikap timbal baliknya bukan loyalitas, rsa terima
kasih atau rasa keadilan, tetapi ini soal ”mata ganti mata, gigi ganti gigi”.
2). Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini memenuhi harapan
kelompok, keluarga atau bangsa dianggap bernilai pada dirinya sendiri tanpa
menghiraukan akibat-akibat alngsung.Sikap ini tidak hanya memuat penyesuaian
dengan harapan-harapan orang lain dan dengan tata aturan masyarakat, melainkan
memuat juga loyalitas kepadanya, kesediaan untuk mempertahankan, mendukung, dan
membenarkan tata aturan itu secara aktif pun pula sikap mengindentifikasikan diri
dengan orang-orang dan kelompok yang terlibat di dalamnya. Tahap ini dibagi dua
tingkat, sebagai berikut:
a. Orientasi Masuk Kelompok ”anak
manis” dan ”anak baik”
Perilaku baik adalah perilaku yang
menyenangkan dan membantu orang lain serta mendapat persetujuan dari mereka.
Dalam tahap ini orang menyesuaikan diri dengan anggapan umum tentang apa yang
baik dan apa yang buruk, dan aa yang dianggap cocok atau tidak cocok. ’Maksud
baik’ mulai dinilai sebagai hal yang penting. Pada tingkat ini ada kecenderungan
perbuatan atau perilaku seseorang dalam rangka mencari pujian dari pihak lain
atau masyarakat.
b. Orientasi Hukum dan Ketertiban
Tindakan yang benar adalah tindakan
yang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan pasti dengan berusaha
memelihara ketertiban sosial. Perilaku yang benar adalah semata-mata melakukan
kewajiban dan menunjukkan rasa hormat kepada otoritas, serta memelihara
ketertiban sosial yang ada, demi ketertiban itu sendiri.
3). Tingkat Pascakonvensional,
Otonom atau Berprinsip
Pada tahap ini terdapt usaha jelas
untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip moral lepas dari wibawa kelompok atau
orang yang memegang prinsip-rpinsip itu dan lepas pula dari indentifikasi
individu itu dengan kelompoknya. Pada tahap ini dibagi menjadi dua tingkat,
yaitu:
a. Orientasi Kontrak Sosial
Legalistis
Pada tahap ini, orang menekankan
pada unsur yang terkait dengan kemanfaatan dan mementingkan kegunaan
(utilitarium). Tindakan yang benar ditentukan dari hak dan norma individual
yang telah diperiksa dengan kritis, dan disetujui bersama oleh masyarakat. Ada
kesadaran yang jelas bahwa ’nilai’ dan ’pendapat’ pribadi bersifat relatif
karenanya perlu adany peraturan prosedural untuk mencapai kesepakatan bersama.
Karena ’nilai’ dan ’pendapat’ pribadi dapat bertentangan dengan keputusan
bersama, maka hukum mendapat tempat yang dominan, sekaligus ditekankan bahwa
hukum dapat saja diubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Di luar bidang
hukum, persetujuan bebas dan kontrak sosial merupakan unsur pengikat kewajiban.
b. Orientasi Prinsip Kewajiban
Pada tahap ini, yang dianggap benar
adalah yang sesuai dengan suara hati, sesuai dengan prinsip moral yang
dipilihnya sendiri dengan berpedoman pada pemahaman kekomprehensipan
secara logis, universalitas,
disertai kekonsistenan yang ajeg. Prinsip moral harus memenuhi tiga
syarat: memuat semua, berlaku umum,
dan tidak saling bertentangan. Prinsip
-
prinsip itu abstrak,
bukan petunjuk perbua
tan konkret. Inti moralitas berupa
prinsip
-
prinsip universal tentang
keadilan, ketimbal
-
balikan, persamaan hak
-
hak asasi manusia yang mengacu pada
usaha
penghormatan martabat manusia
sebagai individu (Kohlberg,1977:130).
Struktur tingkat pertimbangan
moral sebagaimana dipaparkan di
atas, selanjutnya dapat
dipahami melalui interpretasi
sebagai berikut:
Tahap pertama
: motif moral
sebuah tindakan
terutama didasarkan pada usaha untuk
menghindarkan diri dari hukuman
fisik. Keputusan moral dan ketaatan
dida
sarkan pada kekuatan fisik dan
material yang sangat sederhana.
Dalam
tahap pertama ini tidak dilarang
jika orang tua atau guru menggunakan
”ancaman” untuk mendidik anak
-
anak, misalnya agar patuh, disiplin,
tertip, dll.
Tahap kedua
:
morif moral
sebuah tinda
kan
terutama berupa usaha untuk
memperoleh ganjaran
atau agar perbuatan baiknya
memperoleh imbalan yang setimpal. Keputusan moral didasarkan
pada pemuasan kebutuhan sendiri,
dengan memikirkan cara menarik keuntungan sebesar
mungkin. Orientasinya sangat ma
terialistis dan instrumentalis.
Dalam tahap ini orang tua atau
guru harus sadar bahwa pada tahap
ini anak atau orang akan berbuat baik demi mencari pujian
bagi dirinya atau mendapat imbalan.
Tahap ketiga
:
motif moral
sebuah tindakan
berfungsi sebagai upaya
agar tidak disalahkan atau
agar tidak dibenci oleh kelompoknya
atau oleh kelompok mayoritasnya.
Keputusan moral dibuat semata
-
mata untuk menyenangkan orang lain.
Egosentrisme digantikan dengan
kemampuan untuk ber
-
emapati, merasakan
apa yang barang kali di
rasakan orang lain.
Moralitas tahap ini tidak menge
nal
relativitas dan kompleksitas, sebab
semuanya masih dilhat dalam model
-
model
yang je
as dan perbedaan yang tegas. Ti
ngkah laku selalu mengikuti konvensi
umum yang ada di dalam masyarakat.
Dalam tahap ini
orang tua atau guru
harus sadar bahwa anak atau orang
akan berbuat baik jika orang lain juga
berbuat demikian pada dirinya, dan
akan berbuat jahat jika orang lain juga
berbuat demikian terhadap dirinya.
Tahap keempat
: motif moral
sebuah tindakan b
erfungsi sebagai upaya membebaskan
diri dari
teguran pejabat yang memegang
kekuasaan, di samping itu juga untuk
melestarikan aturan
-
aturan umum serta membebaskan diri
dari rasa bersalah
yang merupakan akibatnya. Setiap
orang wajib mentaati hukum
-
hukum yan
g
ada dalam masyarakat tanpa
mempertanyakannya, sebab hukum dilihat sebagai
kebijakan bersama yang menjadi tolok
ukur bagi masyarakat untuk bertindak,
dan hukum itu akan menjamin
kestabilan masyarakat.
Dan pertimbangan moral
dibuat seseorang sesuai dengan
aturan
-
aturan dalam masyarakat di mana dia
hidup. Dalam tahap ini orang tua
atau guru harus menyadari perbuatan anak
atau orang semata
-
mata demi tidak melanggar aturan
atau hukum, sering
tingkah laku ini disebut bersifat
legalistis.
Tahap kelima
:
motif mo
ral sebuah tindakan terletak pada
keinginan untuk mempertahkan nilai
-
nilai atau moralitas yang berlaku
atau disetujui oleh masyarakat luas atau demi
kepentingan masyarakat yang lebih
luas. Pemikiran dan pertimbangan moral
merupakan hal yang kompleks karena
menyangkut banyak segi. Banyak hal
yang harus dipertimbangkaan
sekaligus bersama
-
sama aspek
-
aspek situasional
motivasi dan prinsp-prinsip umum
yang tercakup. Hukum memang dilihat sebagai suatu cara untuk mengatur
masyarakat, namun penalaran menuntut kemampuan untuk berpikir secara abstrak,
mempertimbangkan segi emosional, logisnya dan mengandaikan prinsip keadilan
sebagai prinsip utamanya.
Tahap keenam: motif moral sebuah
tindakan terletak pada konformitas terhadap prinsip moral yang berfungsi untuk
menghindarkan diri dari rasa bersalah yang timbul dari dalam dirinya sendiri.
Pertimbangan moral tidak lagi berdasarkan suatu sistem hukum melainkan pada
hukum yang tidak tertulis, pada prinsip moral yang universal. (Martin dan
Briggs,1986:152-155). Pada tahap ini otonomi seseorang sebagai pribadi yang
utuh dituntut dan sanggup untuk mempertanggungjawabkan tindakannya sesuai
dengan hati nuraninya, lepas dari pertimbangan eksternal yang mungkin tidak
sesuai dengan hati nuraninya.
Selanjutnya ilustrasi di bawah ini
mungkin dapat memperjelas uraian di atas.
Tahap pertama: ”Saya harus merapikan
tempat tidurku, jika tidak akan dimarahi mama”, atau ”Saya akan mengerjakan
pekerjaan rumah dengan baik, agar tidak dihukum bu guru”. ( Dalam tindakan
seperti itu terkandung pesan moral bahwa ”seseorang harus mengerjakan tugas
demi ketaatan pada yang berwenang, sebab jika tidak akan dihukum. Seseorang
takut dihukum menjadi alasan utama untuk taat pada otoritas yang lebih
berwenang).
Tahap kedua: ” Jika saya memukul
temanku, maka saya juga akan balik dipukul ” atau ”Jika saya menolong orang
lain yang sedang kesulitan, maka di saat saya susah juga akan ditolong orang
lain”. (Dalam seseorang melakukan suatu perbuatan terkandung pikiran bahwa
dirinya akan mendapat perlakuan yang sama jika dalam keadaan yang sama).
Tahap ketiga: ”Jika saya berhenti
pada waktu lampu lalu lintas menyala merah, maka saya akan mendapat pujian dari
bapak polisi yang berdiri di tepi jalan” atau ”Jika saya mengerjakan pekerjaan
rumah, maka saya akan mendapat pujian dari bu guru”. (Dalam melakukan sebuah
tindakan, terkandung pikiran bahwa tindakannya harus seperti itu karena hal
tersebut merupakan harapan orang lain atau masyarakat dan dengan berbuat
seperti itu akan mendapat pujian).
Tahap keempat: ” Menurut hukum,
menyontek itu dilarang, maka saya tidak akan melakukannya”, atau ”Menurut
hukum, membayar pajak itu bukti warga negara yang baik, maka saya melakukannya”
(Dalam bertindak terkandung pikiran bahwa perbuatan apapun harus sesuai dengan
hukum yang berlaku sebab hukum memang harus ditaati tanpa syarat).
Tahap kelima: ” Berbohong tidak
boleh sebab melanggar norma moral, tetapi seorang dokter boleh berbohong
terhadap seorang pasien yang sudah dalam keadaan kritis dengan mengatakan bahwa
kondisinya cukup baik, dengan harapan pasien tetap termotivasi untuk dapat
sembuh dan dapat hidup terus”. (Bagi seorang dokter mempertahankan nilai
kehidupan jauh lebih penting dari pada nilai kejujuran (tidak berbohong), sebab
jika dokter jujur dengan mengatakan kondisi yang senyatanya dapat saja pasien
langsung meninggal).
Tahap keenam: ” Saya menolong orang
lain yang sedang menderita bukan untuk mencari pujian, bukan karena mencari
imbalan, atau bukan karena aturan, tetapi karena prinsip cinta kasih sesuai
dengan gerakan suara hatiku” (Tingkah laku atau perbuatan
seseorang didasarkan atas
prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang sifatnya universal dan sesuai
dengan hati nuraninya).
1.2. Perkembangan moral menurut
perkembangan ranah afektif
Ranah afektif seseorang tercermin
dalam sikap dan perasaan diri seseorang (Muhammad Syah,2007:230-134) yang
meliputi: (1) self-concept dan self esteem; (2) self-efficacy dan contextual
efficacy; (3) attitude of self-acceptance dan others acceptance. Self-concept
atau konsep diri adalah totalitas sikap dan persepsi seseorang terhadap dirinya
sendiri. Sementara self-esteem atau harga diri adalah tingkat pandangan dan
penilaian seseorang mengenai kualitas dirinya berdasarkan prestasinya.
Self-efficacy (efikasi diri) adalah keyakinan seseorang terhadap keefektifan
kemampuan sendiri dalam membangkitkan gairah dan kegiatan orang lain.
Contextual efficacy adalah kemampuan seseorang dalam berurusan dengan
keterbatasan faktor luar dirinya pada suatu saat tertentu. Sementara itu
self-acceptance attitude atau sikap penerimaan terhadap diri sendiri adalah
gejala perasaan seseorang dalam kecenderungan positif atau negatif terhadap
diri sendiri berdasarkan penilaian jujur atas bakat dan kemampuannya. Others
acceptance attitude adalah sikap mampu menerima keberadaan orang lain, yang
amat dipengaruhi oleh kemampuan untuk menerima diri sendiri.
Perkembangan ranah afektif sama
ragamnya dengan perkembangan ranah kognitif, maksudnya tingkat perkembangan
ranah afektif seseorang amatlah beragam. Secara umum perkembangan ranah afektif
menurut Dupont, meliputi enam tahap ( Darmiyati Zuchdi,2008: 22-24)
Tahap
Agak berbeda dengan pandangan di
atas adalah paparan Erickson (2008) tentang perkembangan afektif, yang
dibaginya menjadi delapan fase :
V. VISI-MISI TUJUAN AKSES PENDIDIKAN
Visi dan Misi pendidikan nasional
telah dirumuskan dan dituangkan dalam "penjelasan" UU, 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Visi dan Misi pendidikan
nasional ini merupakan bagian yang penting dalam strategi pembaharuan sistem
pendidikan.
VISI PENDIDIKAN NASIONAL
Pendidikan nasional mempunyai visi
terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa
untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia
yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu berubah.
MISI PENDIDIKAN NASIONAL
Dengan visi pendidikan nasional
tersebut, maka pendidikan nasional memiliki misi sebagai berikut:
1. Mengupayakan perluasan dan
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2. Membantu dan memfasilitasi
pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat
dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.
3. Meningkatkan kesiapan masukan dan
kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang
bermoral.
4. Meningkatkan keprofesionalan dan
akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan. keterampilan,
pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.
5. Memberdayakan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam
konteks Negara Kesatuan Republik Inonesia.
Beberapa program yang telah
dijalankan oleh Kemdikbud dalam meningkatkan akses dan keterjangkauan antara
lain, dalam pembiayaan bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan siswa miskin
(BSM), bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN), dan pendidikan
menengah universal (PMU). Sedangkan yang terkait sarana dan prasarana, program
rehabilitasi bangunan sekolah dan ruang kelas rusak berat sejak tahun 2012
telah memperbaiki 200.000 ruang kelas.
Di jenjang pendidikan tinggi, guna
meningkatkan akses, Kemdikbud telah mendirikan berbagai perguruan tinggi di
wilayah perbatasan, menegerikan perguruan tinggi swasta, dan mendirikan akademi
komunitas. Target pendirian akademi komunitas (AK) di seluruh wilayah Indonesia
adalah satu AK di satu kabupaten/kota.
Sedangkan untuk peningkatan
kualitas, program yang telah dilakukan antara lain perbaikan kurikulum,
pelatihan guru, dan membuka kesempatan beasiswa bagi guru, dosen, dan
masyarakat umum untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Guru yang telah dilatih sudah 1,3 juta orang,” katanya.
Dari program-program yang telah
dilaksanakan ini, Ibnu mengatakan, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan
dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi terus meningkat. Untuk jenjang
SD, target APK di tahun 2014 ini adalah 95 persen, dan sudah tercapai. Bahkan
di beberapa wilayah, katanya, APK telah melampaui 100 persen. “Kenapa bisa
lebih dari 100 persen, salah satunya adalah karena di wilayah tersebut banyak
anak-anak yang usianya di bawah tujuh tahun sudah masuk SD,” ucapnya.
Dan untuk pendidikan tinggi,
peningkatan APK cukup signifikan. Tahun 2004 APK pendidikan tinggi baru 15
persen. Artinya, dari seluruh masyarakat usia 18-25 tahun hanya 15 persen di
antaranya yang mengenyam pendidikan tinggi. Dan di tahun 2014 ini, sudah meningkat
hingga 35 persen.
Ibnu mengatakan, berbagai tantangan yang ada
di dunia pendidikan harus dihadapi bersama antara pemerintah pusat, daerah, dan
masyarakat. Karena dengan kebijakan otonomi daerah, koordinasi pusat dan daerah
harus ditingkatkan. “Dan harapannya, menteri yang akan datang bisa meningkatkan
koordinasi tersebut,” katanya. (Aline Rogeleonick)
VI. Unsur-Unsur Pendidikan
Unsur-unsur pendidikan melibatkan
banyak hal yaitu:
1. Subjek yang dibimbing (peserta
didik)
Peserta didik ini mempunyai status
sebagai subjek, yaitu yang diberikan pendidikan. Pandangan modern cenderung
menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang
otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Ciri-ciri peserta didik yang harus
dipahami oleh pendidik adalah:
a. Individu yang memiliki potensi
fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik
b. Individu yang sedang berkembang
c. Individu yang membutuhkan
bimbingan individual dan perlakuan manusiawi
d. Individu yang mempunyai kemampuan
untuk mandiri
2. Orang yang membimbing (pendidik)
Yang dimaksud pendidik adalah orang
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta
didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Oleh karena
itu yang bertanggung jawab atas pendidikan adalah orang tua, guru, pemimpin
program pembelajaran dan latihan, dan masyarakat.
3. Interaksi antara peserta didik
dengan pendidik (interaksi eduktif)
Interaksi eduktif pada dasarnya
adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang
terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal
ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi, isi, metode,
serta alat-alat pendidikan.
4. Ke arah mana bimbingan ditujukan
(tujuan pendidikan)
5. Pengaruh yang diberikan dalam
bimbingan (materi pendidikan)
6. Cara yang digunakan dalam
bimbingan (alat dan metode pendidikan)
Alat dan metode di sini diartikan
sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk
mencapai tujuan pendidikan. Secara khusus, alat itu untuk melihat jenisnya,
sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya.
7. Tempat di mana peristiwa
bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan)
VII. SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
01.uu no.20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional Document Transcript
1. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM
PENDIDIKAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial; b. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diatur dengan undang-undang; c. bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan
efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan
pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan; d.
bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak
memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan
amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d
perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan persetujuan bersama DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL. BAB
I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat,
2. 2 bangsa dan negara. 2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. 3. Sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional. 4. Peserta didik adalah anggota masyarakat
yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 5. Tenaga
kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan. 6. Pendidik adalah tenaga kependidikan
yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara,
tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. 7. Jalur
pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi
diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 8.
Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan
tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan
yang dikembangkan. 9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada
kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan. 10. Satuan pendidikan
adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur
formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 11.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 12.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 13. Pendidikan informal
adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 14. Pendidikan anak usia dini
adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai
dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 15. Pendidikan jarak
jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan
pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi
komunikasi, informasi, dan media lain. 16. Pendidikan berbasis masyarakat
adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya,
aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan
untuk masyarakat. 17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal
tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia. 18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus
diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan
pemerintah daerah. 19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. 20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. 21. Evaluasi
pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu
pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan
3. 3 pendidikan. 22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan
program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. 23.
Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana,
sarana, dan prasarana. 24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang
beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. 25. Komite
sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali
peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli
pendidikan. 26. Warga negara adalah warga negara Indonesia baik yang tinggal di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. 27. Masyarakat adalah kelompok warga negara
Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 29. Pemerintah daerah adalah pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota. 30. Menteri adalah
menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional. BAB II DASAR,
FUNGSI DAN TUJUAN Pasal 2 Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. BAB III PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN Pasal 4 (1) Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan
yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi
keteladanan, membangun kemauan,
4. 4 dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA, ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus. (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. (5) Setiap warga negara berhak
mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 6 (1) Setiap
warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar. (2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan. Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Orang Tua Pasal 7
(1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan
memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. (2) Orang tua
dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada
anaknya. Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 Masyarakat berhak
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
5. 5 evaluasi program pendidikan. Pasal 9 Masyarakat berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagian
Keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 10 Pemerintah
dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pasal 11 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap
warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. BAB V PESERTA
DIDIK Pasal 12 (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. mendapatkan pelayanan pendidikan
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; c. mendapatkan beasiswa bagi yang
berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; d.
mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya; e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan
pendidikan lain yang setara; f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan
kecepatan belajar masing- masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas
waktu yang ditetapkan. (2) Setiap peserta didik berkewajiban: a. menjaga
norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan
pendidikan; b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi
peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (3) Warga negara asing dapat menjadi peserta
didik pada satuan pendidikan yang
6. 6 diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. BAB VI JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum
Pasal 13 (1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. (2) Pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka
melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh. Pasal 14 Jenjang pendidikan
formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Pasal 15 Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pasal 16 Jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Bagian Kedua
Pendidikan Dasar Pasal 17 (1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan
yang melandasi jenjang pendidikan menengah. (2) Pendidikan dasar berbentuk
sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat
serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk
lain yang sederajat. (3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. Bagian Ketiga Pendidikan Menengah Pasal 18
7. 7 (1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. (2)
Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan
menengah kejuruan. (3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas
(SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah
aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. (4) Ketentuan mengenai
pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Keempat Pendidikan
Tinggi Pasal 19 (1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
(2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka. Pasal 20 (1)
Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut,
atau universitas. (2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Perguruan tinggi
dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi. (4)
Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 21 (1)
Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak
menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik,
profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
(2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan
perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (3)
Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari
perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi,
atau vokasi. (4) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan
perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari
perguruan tinggi yang bersangkutan. (5) Penyelenggara pendidikan yang tidak
memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa
penutupan penyelenggaraan pendidikan. (6) Gelar akademik, profesi, atau vokasi
yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan
ketentuan ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak sah.
8. 8 (7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 22 Universitas,
institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar
doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak
memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang
ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.
Pasal 23 (1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru
besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang
bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi. Pasal 24
(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada
perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta
otonomi keilmuan. (2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri
lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah,
dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber
dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip
akuntabilitas publik. (4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Pasal 25 (1) Perguruan tinggi menetapkan
persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh
gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut
gelarnya. (3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar
akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kelima Pendidikan
Nonformal Pasal 26 (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan
potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta
9. 9 pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan,
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4)
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta
satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi
masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup,
dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha
mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6)
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga
yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan. (7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan
nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian
Keenam Pendidikan Informal Pasal 27 (1) Kegiatan pendidikan informal yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. (2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama
dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai
dengan standar nasional pendidikan. (3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil
pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. Bagian Ketujuh Pendidikan Anak Usia Dini Pasal 28 (1)
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. (2)
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, nonformal, dan/atau informal. (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur
pendidikan formal berbentuk taman kanak- kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau
bentuk lain yang sederajat. (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau
bentuk lain yang sederajat. (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan
oleh lingkungan. (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
10. 10 Bagian Kedelapan Pendidikan Kedinasan Pasal 29 (1) Pendidikan
kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen
atau lembaga pemerintah nondepartemen. (2) Pendidikan kedinasan berfungsi
meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi
pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah
nondepartemen. (3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur
pendidikan formal dan nonformal. (4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2)
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada
jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan
berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk
lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh Pasal 31
(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan. (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan
kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap
muka atau reguler. (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai
bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta
sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional
pendidikan. (4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesebelas Pendidikan Khusus dan Pendidikan
Layanan Khusus.
11. 11 Pasal 32 (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa. (2) Pendidikan layanan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat
adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak
mampu dari segi ekonomi. (3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus
dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB VII BAHASA PENGANTAR Pasal
33 (1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam
pendidikan nasional. (2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar
dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan
dan/atau keterampilan tertentu. (3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa
asing peserta didik. BAB VIII WAJIB BELAJAR Pasal 34 (1) Setiap warga negara
yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (2) Pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung
jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat. (4) Ketentuan mengenai wajib belajar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. BAB IX STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Pasal 35 (1)
Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan,
dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum,
12. 12 tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan
pembiayaan. (3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan
pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan
standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. (4) Ketentuan
mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB X
KURIKULUM Pasal 36 (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2)
Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman
dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan
minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global;
dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai
pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 37 (1) Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan
kewarganegaraan; c. bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu
pengetahuan sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i.
keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal. (2) Kurikulum pendidikan tinggi
wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; dan c.
bahasa. (3) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
13. 13 Pasal 38 (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Kurikulum pendidikan dasar
dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi
dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan
dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. (3) Kurikulum pendidikan tinggi
dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. (4) Kerangka dasar dan
struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap
program studi. BAB XI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Pasal 39 (1) Tenaga
kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan,
dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
(2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40 (1) Pendidik
dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: a. penghasilan dan jaminan
kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; b. penghargaan sesuai dengan
tugas dan prestasi kerja; c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan
pengembangan kualitas; d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak
atas hasil kekayaan intelektual; dan e. kesempatan untuk menggunakan sarana,
prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
tugas. (2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: a. menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan;
dan c. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan
sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pasal 41 (1) Pendidik dan
tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah. (2) Pengangkatan,
penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga
yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
14. 14 (3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan
pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. (4) Ketentuan mengenai
pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 42 (1)
Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan
jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Pendidik untuk pendidikan formal
pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi. (3)
Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 43 (1) Promosi
dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan
latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam
bidang pendidikan. (2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan
tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. Pasal 44 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan
mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Penyelenggara pendidikan oleh
masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada
satuan pendidikan yang diselenggarakannya. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat. BAB XII SARANA DAN
PRASARANA PENDIDIKAN Pasal 45 (1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik. (2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana
dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
15. 15 BAB XIII PENDANAAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Tanggung Jawab
Pendanaan Pasal 46 (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2) Pemerintah dan
pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. (3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. Bagian Kedua Sumber Pendanaan Pendidikan Pasal 47 (1)
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan,
dan keberlanjutan. (2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. Bagian Ketiga Pengelolaan Dana Pendidikan Pasal 48 (1) Pengelolaan
dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik. (2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. Bagian Keempat Pengalokasian Dana Pendidikan Pasal 49 (1) Dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
16. 16 (APBD). (2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah
dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (3) Dana
pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan
dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5)
Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. BAB XIV PENGELOLAAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 50 (1)
Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri. (2)
Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk
menjamin mutu pendidikan nasional. (3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional. (4) Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan
fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah. (5) Pemerintah kabupaten/kota mengelola
pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis
keunggulan lokal. (6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi
dalam mengelola pendidikan di lembaganya. (7) Ketentuan mengenai pengelolaan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal
51 (1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan
prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. (2) Pengelolaan satuan pendidikan
tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu,
dan evaluasi yang transparan. (3) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Pasal 52 (1) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
17. 17 daerah, dan/atau masyarakat. (2) Ketentuan mengenai pengelolaan
satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Badan Hukum Pendidikan Pasal
53 (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara
mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum
pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri. BAB XV PERAN SERTA
MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 54 (1) Peran serta
masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat
dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat Pasal 55 (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan
pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai
dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan
masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan
melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan
pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
18. 18 (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh
bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (5) Ketentuan mengenai peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah/Madrasah Pasal 56 (1) Masyarakat berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. (2)
Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan
dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan
hirarkis. (3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan
pada tingkat satuan pendidikan. (4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB XVI
EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI Bagian Kesatu Evaluasi Pasal 57 (1)
Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional
sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. (2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan
program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan,
dan jenis pendidikan. Pasal 58 (1) Evaluasi hasil belajar peserta didik
dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan. (2) Evaluasi peserta didik,
satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara
berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar
nasional pendidikan.
19. 19 Pasal 59 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi
terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. (2)
Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri
untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. (3) Ketentuan
mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Akreditasi Pasal 60 (1)
Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan
pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis
pendidikan. (2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan
oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk
akuntabilitas publik. (3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang
bersifat terbuka. (4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah. Bagian Ketiga Sertifikasi Pasal 61 (1) Sertifikat berbentuk ijazah
dan sertifikat kompetensi. (2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai
pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang
pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi. (3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara
pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat
sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu
setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi atau lembaga sertifikasi. (4) Ketentuan mengenai sertifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. BAB XVII PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN Pasal 62 (1)
Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh
izin Pemerintah atau pemerintah daerah. (2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin
meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem
evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
20. 20 (3) Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin
pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (4) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. Pasal 63 Satuan pendidikan yang didirikan dan
diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara lain menggunakan
ketentuan undang-undang ini. BAB XVIII PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA
NEGARA LAIN Pasal 64 Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan
negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik
warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang
bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 65 (1)
Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat
menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Lembaga pendidikan
asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan
agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara Indonesia. (3)
Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga
pendidik dan pengelola warga negara Indonesia. (4) Kegiatan pendidikan yang
menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB XIX PENGAWASAN Pasal 66
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite
sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada
semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip
transparansi dan akuntabilitas publik. (3) Ketentuan mengenai pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
21. 21 BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 67 (1) Perseorangan, organisasi,
atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi,
gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Penyelenggara perguruan tinggi
yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi
dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Penyelenggara
pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal
23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4)
Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Pasal 68 (1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah,
sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan
pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan
pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang
tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang memperoleh
dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat
(1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69 (1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan
sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
22. 22 Pasal 70 Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk
mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara
paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). Pasal 71 Penyelenggara satuan pendidikan yang
didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 72 Penyelenggaraan pendidikan yang
pada saat undang-undang ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan. Pasal 73 Pemerintah atau
pemerintah daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada satuan
pendidikan formal yang telah berjalan pada saat undang-undang ini diundangkan
belum memiliki izin. Pasal 74 Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan
undang-undang ini. BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 75 Semua peraturan
perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan undang- undang ini harus
diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang
ini. Pasal 76 Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang Nomor
48/Prp./1960
23. 23 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan
tidak berlaku. Pasal 77 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003 Presiden Republik
Indonesia, Megawati Soekarnoputri Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli
2003 Sekretaris Negara Republik Indonesia, Bambang Kesowo
24. 24 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4301 PENDIDIKAN. Sistem Pendidikan
Nasional. Warga Negara. Masyarakat. Pemerintah. Pemerintah Daerah. (Penjelasan
atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78) PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL I. UMUM Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan
merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1)
menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3)
menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang
merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia
secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan,
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan
memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem
pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan
memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem
pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di
antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani
peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan
yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang
berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat;
penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan
tugas secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap
satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan
manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan
pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna. Pembaharuan sistem pendidikan
juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola
pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara
pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Pembaharuan sistem pendidikan
nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan
pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan
semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas
sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai
berikut: 1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
25. 25 2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa
secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan
masyarakat belajar; 3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses
pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; 4.
meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai
berdasarkan standar nasional dan global; dan 5. memberdayakan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam
konteks Negara Kesatuan RI. Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional
tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan
strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang
ini meliputi : 1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; 2.
pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; 3. proses
pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 4. evaluasi, akreditasi, dan
sertifikasi pendidikan yang memberdayakan; 5. peningkatan keprofesionalan
pendidik dan tenaga kependidikan; 6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;
7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; 9. pelaksanaan wajib
belajar; 10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; 11. pemberdayaan peran
masyarakat; 12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan 13.
pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan strategi
tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud
secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula
disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sehubungan dengan
hal-hal di atas, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional perlu diperbaharui dan diganti. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup
jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas
26. 26 Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pendidikan dengan sistem
terbuka adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan
waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi
entry-multi exit system). Peserta didik dapat belajar sambil bekerja, atau
mengambil program-program pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang
berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau
jarak jauh. Pendidikan multimakna adalah proses pendidikan yang diselenggarakan
dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan
kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)
Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Memberdayakan semua komponen
masyarakat berarti pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat
dalam suasana kemitraan dan kerja sama yang saling melengkapi dan memperkuat.
Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas
Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1)
huruf a Pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik
difasilitasi dan/atau
27. 27 disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai
kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3). Ayat
(1) huruf b Pendidik dan/atau guru yang mampu mengembangkan bakat, minat, dan
kemampuan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur
dalam Pasal 41 ayat (3). Ayat (1) huruf c Cukup jelas Ayat (1) huruf d Cukup
jelas Ayat (1) huruf e Cukup jelas Ayat (1) huruf f Cukup jelas Ayat (2) Cukup
jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14
Cukup jelas Pasal 15 Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah
yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan kejuruan
merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk
bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi
program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan
disiplin ilmu pengetahuan tertentu. Pendidikan profesi merupakan pendidikan
tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki
pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
28. 28 Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan
peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu
maksimal setara dengan program sarjana. Pendidikan keagamaan merupakan
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk
dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran
agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan khusus merupakan
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta
didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif
atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pendidikan yang
sederajat dengan SD/MI adalah program seperti Paket A dan yang sederajat dengan
SMP/MTs adalah program seperti Paket B. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pendidikan yang sederajat dengan
SMA/MA adalah program seperti Paket C. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 19 Cukup
jelas Pasal 20 Ayat (1) Akademi menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu
cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni
tertentu. Politeknik menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah bidang
pengetahuan khusus. Sekolah tinggi menyelenggarakan pendidikan akademik
dan/atau vokasi dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu dan jika memenuhi syarat
dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Institut menyelenggarakan pendidikan
akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan
pendidikan profesi. Universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau
pendidikan vokasi dalam
29. 29 sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika
memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Gelar akademik yang
dimaksud, antara lain, sarjana, magister, dan doktor. Ayat (2) Cukup jelas Ayat
(3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas
Ayat (7) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Guru besar atau
profesor adalah jabatan fungsional bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan
perguruan tinggi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup
jelas
30. 30 Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Pendidikan kecakapan hidup (life skills) adalah pendidikan yang memberikan
kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan
vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Pendidikan kepemudaan adalah
pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa,
seperti organisasi pemuda, pendidikan kepanduan/kepramukaan, keolahragaan,
palang merah, pelatihan, kepemimpinan, pecinta alam, serta kewirausahaan.
Pendidikan pemberdayaan perempuan adalah pendidikan untuk mengangkat harkat dan
martabat perempuan. Pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal
yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang
mencakup program paket A, paket B, dan paket C. Pendidikan dan pelatihan kerja
dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada
penguasaan keterampilan fungsional yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Kursus dan pelatihan sebagai bentuk pendidikan
berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada
penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan
serta pengembangan kepribadian profesional. Kursus dan pelatihan dikembangkan
melalui sertifikasi dan akreditasi yang bertaraf nasional dan internasional.
Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Ayat
(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai
dengan enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan
dasar. Ayat (2) Cukup jelas
31. 31 Ayat (3) Taman kanak-kanak (TK) menyelenggarakan pendidikan untuk
mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan
peserta didik. Raudhatul athfal (RA) menyelenggarakan pendidikan keagamaan
Islam yang menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada peserta didik
untuk mengembangkan potensi diri seperti pada taman kanak-kanak. Ayat (4) Cukup
jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30
Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Bentuk
pendidikan jarak jauh mencakup program pendidikan tertulis (korespondensi),
radio, audio/video, TV, dan/atau berbasis jaringan komputer. Modus
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh mencakup pengorganisasian tunggal (single
mode), atau bersama tatap muka (dual mode). Cakupan pendidikan jarak jauh dapat
berupa program pendidikan berbasis mata pelajaran/mata kuliah dan/atau program
pendidikan berbasis bidang studi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas
Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengajaran bahasa daerah pada jenjang
pendidikan dasar di suatu daerah disesuaikan dengan intensitas penggunaannya
dalam wilayah yang bersangkutan. Tahap awal pendidikan adalah pendidikan pada
tahun pertama dan kedua sekolah dasar.
32. 32 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1)
Standar isi mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan ke dalam persyaratan tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan
kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi
oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Kompetensi
lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah
disepakati. Standar tenaga kependidikan mencakup persyaratan pendidikan
prajabatan dan kelayakan, baik fisik maupun mental, serta pendidikan dalam
jabatan. Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat
berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja,
tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi. Peningkatan secara berencana dan berkala dimaksudkan
untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan nasional, keadilan, dan
kompetisi antarbangsa dalam peradaban dunia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan bersifat
mandiri pada tingkat nasional dan propinsi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 36 Ayat
(1) Cukup jelas Ayat (2) Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi
dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan
pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah. Ayat (3)
Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 37 Ayat (1) Pendidikan agama dimaksudkan
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
33. 33 Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta
didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Bahan
kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan
pertimbangan: 1. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional; 2. Bahasa daerah
merupakan bahasa ibu peserta didik; dan 3. Bahasa asing terutama bahasa Inggris
merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan
global. Bahan kajian matematika, antara lain, berhitung, ilmu ukur, dan aljabar
dimaksudkan untuk mengembangkan logika dan kemampuan berpikir peserta didik.
Bahan kajian ilmu pengetahuan alam, antara lain, fisika, biologi, dan kimia
dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis
peserta didik terhadap lingkungan alam dan sekitarnya. Bahan kajian ilmu
pengetahuan sosial, antara lain, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan
sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan
analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat. Bahan kajian seni
dan budaya dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik menjadi manusia
yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Bahan kajian seni mencakup
menulis, menggambar/melukis, menyanyi, dan menari. Bahan kajian pendidikan
jasmani dan olah raga dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik agar
sehat jasmani dan rohani, dan menumbuhkan rasa sportivitas. Bahan kajian
keterampilan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
memiliki keterampilan. Bahan kajian muatan lokal dimaksudkan untuk membentuk
pemahaman terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Tenaga kependidikan
meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas,
peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 40 Ayat (1) huruf a Yang dimaksud dengan penghasilan yang
pantas dan memadai adalah penghasilan yang mencerminkan martabat guru sebagai
pendidik yang profesional di atas kebutuhan hidup minimum (KHM). Yang dimaksud
dengan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, antara lain,
jaminan kesehatan dan jaminan hari tua.
34. 34 huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas huruf
e Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 41 Ayat (1) Pendidik dan tenaga
kependidikan dapat bertugas di mana pun dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan tetap memperhatikan peraturan perundang- undangan yang
berlaku. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pemberian fasilitas oleh Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah dimaksudkan untuk menghindari adanya daerah yang
kekurangan atau kelebihan pendidik dan tenaga kependidikan, serta juga dimaksudkan
untuk peningkatan kualitas satuan pendidikan. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 42
Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Program sertifikasi
bertujuan untuk memenuhi kualifikasi minimum pendidik yang merupakan bagian
dari program pengembangan karier oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas
35. 35 Pasal 46 Ayat (1) Sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah
meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat
mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran
nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk
pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Ayat (1)
Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap. Ayat (2) Cukup
jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 50
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup
jelas Ayat (5) Cukup jelas
36. 36 Ayat (6) Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah
kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya. Ayat (7) Cukup
jelas Pasal 51 Ayat (1) Yang dimaksud dengan manajemen berbasis
sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan
pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh
komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Ayat (2) Cukup
jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Ayat (1) Badan hukum
pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan, antara lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN). Ayat
(2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas
Pasal 55 Ayat (1) Kekhasan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat
tetap dihargai dan dijamin oleh undang-undang ini. Ayat (2) Cukup jelas Ayat
(3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
37. 37 Ayat (5) Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas
Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup
jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65
Ayat (1) Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain mencakup
undang-undang tentang imigrasi, pajak, investasi asing, dan tenaga kerja. Ayat
(2) Pelaksanaan pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (1)
huruf a. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Sistem pendidikan negara lain mencakup
kurikulum, sistem penilaian, dan penjenjangan pendidikan. Ayat (5) Cukup jelas
Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas
38. 38 Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Peraturan pemerintah yang dimaksud
dalam ayat ini, antara lain, mengatur tata cara pengawasan dan sanksi
administratif. Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas
Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup
jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77
Cukup jelas.
VIII. KEWIBAWAAN PENDIDIK
Kewibawaan merupakan “alat
pendidikan” yang diaplikasikan oleh guru untuk menjangkau (to touch) kedirian
anak didik dalam hubungan pendidikan. Kewibawaan ini mengarah kepada kondisi
high touch, dalam arti perlakuan guru menyentuh secara positif, kontruktif, dan
komprehensif aspek-aspek kedirian/kemanusiaan anak didik. Dalam hal ini guru
menjadi fasilitator bagi pengembangan anak didik yang diwarnai secara kental
oleh suasana kehangatan dan penerimaan, keterbukaan dan ketulusan, penghargaan,
kepercayaan, pemahaman empati, kecintaan dan penuh perhatian (Rogers, 1969;
Gordon, 1974; Smith, 1978; Barry & King, 1993; Hendricks, 1994). Sejalan
dengan pengembangan suasana demikian itu, guru dengan sungguh-sungguh memahami
suasana hubungannya dengan anak didik secara sejuk, dengan menggunakan bahasa
yang lembut, tidak meledak-ledak (Silberman, 1970 dan Gordon, 1974).
Dalam melaksanakan tugas sebagai
guru, hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan
kewibawaan. Pendidik harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik)
dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada
unsure kewenangan jabatan. Kewibawan
justru menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain
untuk mengakui, menerima dan “menuruti” dengan penuh pengertian atas keluasaan
tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung
yang terlepas dari kritik. Kewibawaan guru akan lebih berarti jika membuat
siswanya dapat melakukan koreksi atau kritik terhadap dirinya.
Kewibawaan pendidik hanya dimiliki
oleh mereka yang dewasa. Yang dimaksud dengan kedewasaan disini adalah
kedewasaan pikiran. Kedewasaan pikiran hanya akan tercapai oleh individu yang
telah melakukan proses atau dialektika dengan realitas social yang pernah
dilaluinya. Misalnya ketika masih mahasiswa aktif melakukan diskusi-diskusi
dengan berbagai kelompok dalam kampus atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan
kemahasiswaan yang sifatnya memacu perkembangan kognitif, afektif dan
psikomotorik Atau terlibat dalam advokasi-advokasi kemahasiswaan. Ada tiga
sendi kewibawaan, yaitu kepercayaan, kasih sayang dan kemampuan. Pertama,
kepercayaan, pendidik harus percaya bahwa dirinya bisa mendidik dan juga harus
percaya bahwa peserta didik dapat mengembangkan dirinya sehingga dalam proses
pembelajaran guru berfungsi sebagai pembangkit potensi peserta dididik. Kedua,
Kasih sayang mengandung makna, yaitu penyerahan diri kepada yang
disayangi/peserta didik dan melakukan proses pembebasan terhadap yang disayangi
dalam batasan-batasan yang tidak merugikan peserta didik dan kesediaan untuk
berkorban dalam bentuk konkretnya berupa pengabdian dalam kerja. Ketiga,
kemampuan mendidik dapat dikembangkan melalui beberapa cara, antara lain
pengkajian terhadap ilmu pengetahuan kependidikan, mengambil manfaat dari
pengalaman kerja, senantisa megikuti alur perkembangan ilmu pengetahuan, agar
guru mengajar sambil belajar hal-hal yang baru, sehingga guru tidak hanya
seperti burung beo yang pengetahuannya tidak pernah bertambah.
Kewibawaan yang efektif menurut
Charles Schaefer (1996:86) didasarkan atas pengetahuan yang lebih utama atau
keahlian yang dilaksanakan dalam suatu suasana kasih sayang dan saling
menghormati. Karenanya, guru diharapkan memiliki kewibawaan agar mampu
membimbing siswa kepada pencapaian tujuan belajar yang sesungguhnya ingin
direalisasikan. Wens Tanlain dkk. (1996:78) lebih tegas menjelaskan bahwa
kewibawaan adalah adanya penerimaan, pengakuan, kepercayaan siswa terhadap guru
sebagai pendidik yang memberi bantuan, tuntunan dan nilai-nilai manusiawi.
Kewibawaan meliputi:
a. Pengakuan adalah penerimaan dan perlakuan guru terhadap anak didik
atas dasar kedirian/kemanusiaan anak didik, serta penerimaan dan perilaku anak
didik terhadap guru atas dasar status, peranan, dan kualitas yang tinggi.
b. Kasih sayang dan kelembutan adalah sikap, perlakuan, dan komunikasi
guru terhadap anak didik didasarkan atas hubungan sosio-emosional yang
dekat-akrab-terbuka, fasilitatif, dan permisif-konstruktif bersifat
pengembangan. Dasar dari suasana hubungan seperti ini adalah love dan caring
dengan fokus segala sesuatu diarahkan untuk kepentingan dan kebahagiaan anak
didik, sesuai dengan prinsip-prinsip humanistik.
c. Penguatan adalah upaya guru untuk meneguhkan tingkah laku positif
anak didik melalui bentuk-bentuk pemberian penghargaan secara tepat yang
menguatkan (reinforcement). Pemberian penguatan didasarkan pada kaidah-kaidah
pengubahan tingkah laku.
d. Pengarahan adalah upaya guru untuk mewujudkan ke mana anak didik
membina diri dan berkembang. Upaya yang bernuansa direktif ini, termasuk di
dalamnya kepemimpinan guru, tidak mengurangi kebebasan anak didik sebagai
subjek yang pada dasarnya otonom dan diarahkan untuk menjadi pribadi yang
mandiri.
e. Tindakan tegas yang mendidik adalah upaya guru untuk mengubah tingkah
laku anak didik yang kurang dikehendaki melalui penyadaran anak didik atas
kekeliruannya dengan tetap menjunjung kemanusiaan anak didik serta tetap
menjaga hubungan baik antara anak didik dan guru. Dengan tindakan tegas yang
menddik ini, tindakan menghukum yang menimbulkan suasana negatif pada diri anak
didik dihindarkan.
f. Keteladanan adalah penampilan positif dan normatif guru yang diterima
dan ditiru oleh anak didik. Dasar dari keteladanan adalah konformitas sebagai
hasil pengaruh sosial dari orang lain, dari yang berpola compliance,
identification, sampai internalization (Musen & Rosenzweig, 1973).
Seorang guru menurut Hadiyanto
(2004:30), merupakan manusia terhormat dalam segala aspek, yang harus menjadi
suri tauladan di kelas dan di luar kelas, baik dalam hal kemampuan berpikir,
bersikap, maupun bertutur kata yang tercermin dari tingkah lakunya. T. Raka
Joni (1982:65) menyatakan bahwa karakteristik guru meliputi:
a. penguasaan materi yang mantap,
b. sepenuh hati menyukai bidangnya,
c. menguasai berbagai strategi
pembelajaran,
d. mampu mengelola kegiatan
pembelajaran secara klasikal, kelompok dan individual
e. mengutamakan standar prestasi
yang tinggi untuk siswa dan dirinya, dan
f. dekat dan suka bergaul dengan
siswa.
Dengan demikian, guru harus memiliki
kemampuan, keterampilan, pandangan yang luas serta harus memiliki kewibawaan
dan kesungguhan melaksanakan tanggung jawabnya.
Kewibawaan guru tersebut di atas
harus didasarkan pada proses internalisasi pada diri peserta didik. Menurut T.
Raka Joni (1985:66) bahwa proses internalisasi tercermin pada pendekatan guru
yang dekat dengan siswa, luwes tetapi tegas dan sistematis dalam pengaturan
kerja. Artinya bahwa proses internalisasi pada diri peserta didik berlangsung
melalui diaktifkannya kekuatan yang ada pada mereka melalui pendekatan yang
digunakan guru yaitu kekuatan berpikir, merasakan dan berpengalaman yang
semuanya itu terpadu dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang matang
terhadap apa yang akan dilakukan.
Prayitno (2002:14) menyatakan bahwa
dalam proses pendidikan ada kedekatan antara pendidik dan peserta didik. Lebih
jauh Prayitno (2002:14) menjelaskan bahwa pamrih-pamrih yang ada, selain dapat
merugikan dan membebani peserta didik, merupakan pencederaan terhadap makna
pendidikan dan menurunkan kewibawaan pendidik. Sejalan dengan itu, Muhibbin
Syah (1997:221) menyatakan bahwa wibawa guru di mata murid kian jatuh.
Khususnya di sekolah-sekolah kota yang hanya menghormati guru apabila ada
maksud-maksud tertentu seperti untuk mendapatkan nilai tinggi dan dispensasi.
IX. PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PENDIDIKAN
Ø Permasalahan Eksternal Pendidikan
Masa Kini
Permasalahan eksternal pendidikan di
Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh
kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri.
Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi,
budaya, dan bahkan juga dimensi global.
Dari berbagai permasalahan pada
dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan
menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan
sosial.
Permasalahan globalisasi menjadi
penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat
pengaruhnya pada segenap sector kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan.
Sedangakan permasalah perubahan social adalah masalah “klasik” bagi pendidikan,
dalam arti ia selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan
karenya perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang
harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban
misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.
o
Permasalahan
Globalisasi
Globalisasi mengandung arti
terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Dalam bidang
ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional
ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam
bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan
nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum
merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun gejala kearah itu
sudah mulai Nampak.
Sejumlah SMK dan SMA di beberapa
kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management
Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah
mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima
sertifikat ISO.
Oleh karena itu, dewasa ini
globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan. Permasalahan
globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan.
Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran
paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif
(Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara
keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).
Dalam konteks pergeseran paradigma
keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif
yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global.
Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan
semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih
sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika
kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif under-quality
(berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada tingkat
perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah
menengah.
Bila persoalannya hanya sebatas
tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial (gawat).
Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam
bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan
tentang sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah
berstandar internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi
berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output
pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja
global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan
nasional.
Globalisasi memang membuka peluang
bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan
tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada
prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima
dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan
masa kini.
o
Permasalahan
perubahan sosial
Ada sebuah adegium yang menyatakan
bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang
abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya, perubahan sosial merupakan
peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada perubahan sosial yang
berjalan lambat dan ada pula yang berjalan cepat.
Bahkan salah satu fungsi pendidikan,
sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan inovasi-inovasi sosial, yang
maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan
sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan
paradoks.
Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai
konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian
pesat dewasa ini, perubahan sosial berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya
pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan
sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu
mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991: 28). Dalam kaitan
dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan perubahan
sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko
(1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak mampu mengikuti
revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan
kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata
lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama
artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial,
dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis
pendidikan nasional.
o
Permasalahan
Internal Pendidikan Masa Kini
Seperti halnya permasalahan
eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa kini adalah
sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan
internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan
strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut
sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang
berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen,
anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal
pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal
yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan,
profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
o
Permasalahan
sistem kelembagaan pendidikan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan
yang dimaksud dengan uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan
dikotomi antar pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi
antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari
pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu
ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi
al-Ghazali (Otman, 1981: 182).
Dualisme dikotomi sistem kelembagaan
pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap sebagai permasalahan serius,
bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan solusinya hingga sekarang,
melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu
melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama
melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya
sebagai urusan pribadi.
Sedangkan sistem pendidikan yang
kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata
lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan
kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena
itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan
yang integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan makalah
ini.
o
Permasalahan
Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam
kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik atau guru.
Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk
meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak
sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi
keberhasilan pendidikan.
Menurut Suyanto (2006: 1), “guru
memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap
gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal
maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan
komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu
bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi,
sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
Lebih jauh Suyanto (2006: 28)
menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki kualifikasi dan
ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus
memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi
individual, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan
kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang
tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem
seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi
profesi.
Dari ciri-ciri atau karakteristik
profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang
dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik.
Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan,
atau pekerjaan sebagai moon-lighter. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan
adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan
guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi
profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak
mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu
permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan
nasional masa kini.
o
Permasalahan
Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2006: 15-16) era
globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola
pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah
mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke
paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran
sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara
terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis
factual atau pengetahuan.
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut
strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya
bank” (banking concept). Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan
oleh Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media,
berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi
guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis
serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model
pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi
pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).
Meskipun dalam aspirasinya,
sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran
paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun
kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi
pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini
agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme guru.
X. SEKOLAH ISLAM TERPADU
Munculnya berbagai lembaga
pendidikan berlabel Islam di tanah air pada periode awal tahun 2000 memang
cukup memberikan angin segar bagi para orang tua yang khawatir terhadap kondisi
pergaulan putra – putrinya di bangku sekolah. Memang tidak kita pungkiri
sebelumnya telah ada beberapa organisasi Islam yang juga menggarap ladang
pendidikan ini secara kontinu. Namun kemunculan lembaga pendidikan berlabel
Islam akhir – akhir ini yang semakin banyak dan tidak hanya dipegang oleh
organisasi Islam tertentu agaknya memang hal tersebut berperan sebagai respon
dari masyarakat yang membaik terhadap lembaga pendidikan berlabel Islam
(sekolah Islam).
Sekolah Islam sebelumnya sempat
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat secara umum. Masyarakat menilai bahwa
sekolah Islam adalah kasta kelas dua, jika putra – putrinya tidak masuk ke
sekolah umum barulah mereka mau memasukkan putra – putri mereka ke sekolah
Islam. Alih – alih untuk membuat putra – putri mereka lebih baik dengan
menuntut ilmu di sekolah Islam, beberapa dari orang tua siswa masih berpikir,
daripada tidak bersekolah, lebih baik di sekolahkan di sekolah yang Islam saja.
Jikalau niatnya saja sudah seperti itu maka output yang dihasilkan sudah bisa
kita tebak seperti apa nantinya.
Output pendidikan Islam yang
sebenarnya dapat kita baca dari pengertian Ibnu Qayyim Al Jauziyah, beliau
mengartikan pendidikan yang seringkali disebut dengan tarbiyah. Tarbiyah
menurut beliau, mencakup tarbiyah qalb (pendidikan hati) dan tarbiyah badan
secara sekaligus. Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan tarbiyah.
Keduanya harus ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh
dengan sempurna dan lebih baik dari sebelumnya (Al Jauziyah, 2011). Dengan
pendidikan yang seimbang (tawazun) antara hati dan akal maka akan didapatkan
kualitas sumber daya manusia yang luar biasa sesuai dengan ciri seorang muslim
yang sempurna.
Namun sayangnya semakin tahun
kepekaaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan ini semakin menurun, Menurun
secara substansial dari pengertian pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Kita bisa melihat dari target yang ditetapkan pemerintah dan secara otomatis
menjadi pola pikir dari orang tua murid, yaitu nilai dengan ambang batas
tertentu. Tahun 2011 formula nilai akhir penentu kelulusan siswa sekolah
menengah pertama (SMP) dan sederajat, serta sekolah menengah atas (SMA) dan
sederajat, ditetapkan dengan menggabungkan nilai mata pelajaran ujian nasional
(UN) dengan nilai sekolah. Nilai akhir adalah pembobotan 60 persen nilai UN
ditambah 40 persen nilai sekolah. Syarat kelulusan lainnya adalah nilai tiap
mata pelajaran minimal 4,00 dan tidak ada ujian ulangan. (Kompas, 2011).
Targetnya masih berupa nilai – nilai atau angka – angka, belum ada targetan
terkait akhlak dari peserta didik. Targetan lain, akhlak misalnya yang
sebenarnya tidak harus masuk ke dalam syarat kelulusan itu ternyata juga tidak
sepebuhnya dipahami oleh seluruh staf pengajar di sekolah – sekolah umum.
Mereka lebih mementingkan pintar secara akal dan lulus dengan nilai yang
memuaskan serta menambah nilai jual dari sekolah yang bersangkutan jika lebih
sedikit persentase yang tidak lulus.
Padahal jika dilihat lebih
mendalam, stigma tentang kualitas output siswa dari sekolah Islam tidak sepenuhnya
benar. Di novel Laskar Pelangi (Hirata, 2008) yang juga mengecap pendidikan
dasarnya di sekolah Islam Muhammadiyah Belitong mengalami pematangan akhlak
disana, karena sekolah tersebut tidak hanya berdasarkan nilai angka, tapi hati
lah yang harus juga ikut ‘disekolahkan’. Akhirnya dia juga menjadi peraih
beasiswa ke luar negeri tanpa mengesampingkan pendidikan akhlak yang di peroleh
di sekolahnya dulu. Lain cerita seperti pengarang novel Negeri Lima Menara,
Achmad Fuadi yang awalnya ‘dipaksa’ untuk melanjutkan pendidikan di sekolah
Islam pondok pesantren modern Gontor, Ponorogo. Keinginan ibunya untuk
menjadikan dia seorang sosok intelektual religius seperti Buya Hamka telah
mengantarkannya merasakan pendidikan yang disampaikan dengan ikhlas oleh para
kyai nya di pondok (Fuadi, 2010). Bahkan jargon yang sangat kita kenal dan
menjadi kata – kata motivasi dari novel ini adalah ‘Man Jadda Wa Jada’ yang
artinya barangsiapa bersungguh – sungguh pasti dia akan berhasil/sukses. Hal
ini yang tidak menghalangi pengarang dan juga seluruh siswa di sekolah Islam
untuk menjadi seorang pribadi yang sukses dalam urusan dunia dan juga agama.
Dalam ungkapan salah seorang sahabat pun juga disebutkan “Bersungguh –
sungguhlah kalian dalam urusan agama seolah – olah kalian mati esok pagi dan
juga bersungguh sungguhlah dalam urusan dunia seolah engkau akan hidup
selamanya”.
Sekolah Islam yang sekarang sudah
mulai ‘terasa’ bedanya di masyarakat, penerimaan mereka terhadap sekolah Islam
mulai meningkat, terutama pada sekolah Islam terpadu. Pengajaran di sekolah
Islam terpadu yang cukup menarik membuat anak didik tidak jenuh dan lebih
mengenal Islam dengan menyenangkan. Salah satu contohnya lewat berbagai
permainan yang disisipi hikmah, mengajari hafalan dengan lagu anak – anak tidak
lupa pula penyampaian cerita sejarah Islam dan para nabi dengan bermain peran
dan lain sebagainya. Lebih menarik adalah pengajaran moral yang diterapkan
dengan cara learning by doing dan juga diajarkan secara langsung oleh ustadz
atau ustadzah mereka. Fokus utamanya adalah untuk membentuk akhlak yang Islami
(Fauziddin, 2009).
Makalah ini mencoba untuk memberikan
arahan mengenai lembaga pendidikan yang dapat membantu anak – anak mengerti
Islam dengan menyenangkan. Selain itu juga menggali keunggulan apa saja yang
ada pada sekolah islam terpadu tentang sistem pengajaran dan penanaman akhlak
kepada anak didiknya.
PEMBAHASAN
Sekolah Islam Terpadu menjadi sebuah
fenomena dalam pendidikan kita. Pertama, secara historis memang bangsa
Indonesia tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai religius yang menjadi sumber
dan daya kekuatan bangsa ini. Sesungguhnya yang memperjuangkan bangsa ini di
garis depan adalah kaum santri yang siap berjuang dan berperang. Tapi, tidak
semua ternyata memegang senjata, ada diplomat ulung seperti K.H. Agus Salim,
Guru dari para Founding Fathers kita HOS. Cokroaminoto, dua pendidir Ormas
besar yang bertujuan untuk kemerdekaan bangsa, K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU)
dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), negarawan seperti M. Natsir atau
seorang tokoh militer bintang lima seperti Jenderal Soedirman dan begitu banyak
lagi. Mereka adalah para tokoh pesantren dan santri yang berjuang berdasarkan
kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Kedua, pada dasarnya manusia selalu
ingin kembali kepada fitrahnya. Allah SWT. telah menciptakan manusia sebagai
makhluk terbaik diantara makhluk-makhluknya yang lain yang mampu berfikir.
Kecenderungan manusia mempengaruhi apa pilihannya. Setelah sekian lama manusia
Indonesia dicekoki dengan sistem sekuler walau disamarkan membuat jiwa bangsa
ini memberontak. Upaya-upaya untuk mencerabut bangsa ini dari akar budayanya
ternyata tidak berhasil. Masyarakat bosan dengan Sistem Pendidikan Nasional dan
model pendidikan umum yang terus memisahkan antara pendidikan agama (Islam)
dengan pendidikan umum. Itulah fitrah manusia yang ingin memenuhi relung
jiwanya dengan cahaya Allah.
Ketiga, Sekolah Islam Terpadu
menawarkan hal yang lebih dibandingkan dengan pendidikan umum. Selain
mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum, Sekolah Islam Terpadu
juga memberikan siswanya skill sesuai dengan bakatnya masing-masing. Selain
itu, pola pembelajarannya juga sedikit berbeda dan memang mengakomodir hak-hak
siswa sebagai penuntut ilmu. Hal ini sebenarnya mencoba menjawab tantangan
zaman yang ke depan akan masuk para era globalisasi dan perdagangan bebas.
Anak-anak Indonesia harus sudah dibekali cara-cara manajerial, skill dan
sebagainya yang menunjang dirinya untuk mampu bersaing. Tentunya membentuk karakter mereka bukan
untuk menjadi tenaga kerja tetapi yang membuka lapangan kerja. Ketiga hal
itulah yang membuat Sekolah Islam Terpadu sangat diminati oleh sekian banyak
masyarakat Indonesia saat ini (Sumantri, 2011)
Ketiga hal di atas bisa menjadi
dasar untuk mencoba menerapkan sistem pembelajaran yang dilakukan di sekolah
islam terpadu, sehingga tidak melulu nilai angka yang diprioritaskan. Tapi
mulai mengarah kepada nilai akhlak yang dimiliki anak didik nantinya. Fakta di
lapangan mengenai cara mendidik di sekolah umum sangat berbeda dengan sekolah
Islam terpadu yaitu dalam ‘mengolah’ anak didik mereka menjadi sumber daya
manusia yang juga pintar secara perilaku. Misalnya saja, tidak kita temukan
semacam permainan berhikmah di sekolah umum, berdoa pun tidak bisa dilafalkan
dan dibenarkan panjang pendek serta makhorijul hurufnya karena dalam 1 kelas
mungkin ada siswa yang beragama lain. Selain itu, yang lebih penting adalah
seluruh mata pelajaran mulai dari eksak sampai sosial disampaikan tanpa bisa
terpadu dengan agama Islam, hanya sesuai dengan capaian tersampaikannya materi
tersebut.
Masyarakat mulai sadar dan melihat
bahwa pendidikan di sekolah dasar merupakan pondasi dari pendidikan
selanjutnya. Pembentukan kecerdasan tidak hanya dinilai dari umum tapi juga
agama, khususnya agama Islam. Masa pendidikan dasar adalah masa pendidikan
moral. Hal ini yang akan menentukan bagaimana anak berkembang. Kemerosotan
moral yang terjadi pun juga disebabkan salah satunya oleh penanaman nilai agama
pada anak usia dini yang diabaikan (Dewi, 2010).
Berbagai metode pengajaran di
sekolah Islam terpadu yang menarik siswa untuk lebih paham dan kemudian
mengikuti apa yang diajarkan ustadz/ustadzah mereka antara lain sebagai berikut
: kelas diawali dengan membaca doa akan belajar, syahadat, surat fatihah,
murojaah (mengulang hafalan), ikrar, tata tertib, dan absensi. Selanjutnya
pembelajaran materi Al islam dengan menggunakan
pendekatan belajar melalui bermain.
Kelebihan yang dimikili oleh
sekolah Islam terpadu yaitu prinsip learning by doing. Siswa terlibat langsung dalam, pengalaman
yang konkrit dengan suatu materi. Aktivitas di mana mereka berpartisipasi
dengan sesuatu yang relevan dan penuh arti. Kemudian juga adanya reward and
punihsment yang mendidik, jika salah seorang anak didik melakukan kesalahan
maka respon yang dilakukan oleh ustadz/ustadzahnya bukanlah memarahi mereka,
justru mengajak dialog hingga anak didik tahu benar dimana letak kesalahan yang
dia lakukan. Dengan cara ini diharapkan anak didik tidak mengulangi
kesalahannya lagi karena mereka telah paham bahwa perbuatannya tidak benar.
Pembiasaan lainnya lewat contoh pun juga berlaku sebaliknya, jika salah seorang
pengajar melakukan kesalahan yang diketahui anak didiknya, misalnya ketika
masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka pengajar lainnya akan menegur dan
menanyakan kepada anak didik lainnya bagaimanakah seharusnya perilaku yang
benar. Dari kedua contoh tersebut dapat dilihat bahwa sang anak didik benar – benar
mendapatkan contoh nyata yang harus mereka lakukan, sehingga mereka lebih mudah
menirunya.
Dalam sekolah islam terpadu, guru
tetap memegang peranan yang penting
dalam proses pendidikan, yaitu dakam penanaman
nilai. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan Chomaidi bahwa “peranan guru bukan
sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus sebagai pelaku dan
sumber nilai yang
menuntut tanggung jawab
dan kemampuan dalam upaya meningkatkan kualitas
pembangunan manusia
seutuhnya, baik yang bersifat
lahiriyah maupun yang bersifat
batiniah (fisik dan
non fisik). Artinya yang dibangun
adalah karakter, watak, pribadi manusia yang memiliki kualitas iman,
kualitas kerja, kualitas
hidup, kualitas pikiran,
perasaan, dan kemauan (Chomaidi, 2005)”. Guru di sekolah islam terpadu berperan
sebagai orang tua siswa saat di sekolah, bahkan pengawasan siswa ketika di
rumah pun juga masih dipantau lewat orang tuanya, adakah perubahan positif dari
anak didiknya.
PENUTUP
Dari makalah ini dapat disimpulkan
bahwa sekolah Islam terpadu merupakan alternatif yang baik untuk mencetak anak
didik yang cerdas secara akal dan juga hati. Orangtua yang khawatir akan
kondisi masa depan akhlak putra – putrinya yang dalam hal ini dapat menentukan
kondisi bangsa di masa depan dapat mulai untuk beralih sudut pandang mengenai
pendidikan yang terbaik untuk buah hatinya.
Melihat respon yang cukup baik dari
masyarakat dan juga banyaknya bermunculan sekolah Islam terpadu, agaknya
pemerintah juga perlu memberikan perhatiannya pada lembaga ini. Akan lebih baik
lagi jika beberapa model pengajaran sekolah islam terpadu juga diterapkan pada
pengajaran mata pelajaran di sekolah umum.
Sekolah Islam yang awalnya kurang
diperhitungkan, mampu membuktikan bahwa degan sentuhan agama, anak-anak tak
hanya unggul secara akademik, tapi juga kepribadian.
Diawal berdirinya, sekolah Islam
terpadu ingin mengubah citra sekolah Islam yang dianggap kurang kompetitif dengan
sekolah umum maupun sekolah non-Islam pada umumnya. Saat itu, sekolah pada
umumnya hanya menekankan kepentingan akademik dan masalah agama menjadi hal
yang kurang ditanamkan.
Dalam acara Milad ke 10 Jaringan
Sekolah Islam Terpadu (JIST), Ketua JIST, Sukro Muhab, Jumat (31/1),
menuturkan, diawal kemunculan sekolah Islam terpadu yang memadukan pengetahuan
dan agama, berhasil melahirkan anak-anak yang tidak hanya baik akademiknya,
tapi juga memiliki akidah bersih, beribadah dengan benar, dan mampu menghafal
Alquran.
Selain itu, sejak 1980an, kesadaran
Islam masyarakat juga meningkat, terutama di kalangan ekonomi menengah ke atas.
Muncullah kecenderungan masyarakat memilih menyekolahkan anaknya di sekolah
Islam.
Awalnya JSIT hanya menargetkan satu
model SMPIT dan SMAIT di tiap kabupaten dan satu SDIT di tiap kecamatan dengan
harapan model ini dikembangkan masyarakat setempat. Ternyata, masyarakat ingin
anak-anaknya disekolahkan di sekolah Islam terpadu maka jumlah sekolah Islam
terpadu ini jadi banyak.
Sekolah Islam terpadu juga ingin
memperlihatkan, anak-anak diajarkan dan berhasil menghafal Alquran juga bisa
juara olympiade, rangkingnya baik, keterampilan seninya pun bagus. ''Jadi yang
awalnya hanya ingin menyelamatkan generasi, justru bisa lebih. Jadi uniknya,
anak-anak yang hafal Alquran juga baik akademiknya,'' ungkapnya.
Kurikulum 2013 menyatakan sikap
lebih penting. Kami sudah membentuk itu lebih dulu. Ternyata dengan sentuhan
nilai agama, tumbuh motivasi dan orientasi belajar sebagai ibadah, bukan hanya
untuk ujian. Sehingga anak-anak yang agamanya berkualitas, akan berkualitas
juga akademiknya.
BAB
III
PENUTUP
v Kesimpulan
1.
Sistem
pendidikan merupakan jumlah keseluruhan dari bagian-bagiannya yang saling
bekerjasama untuk mencapai hasil yang diharapakan berdasarkan atas kebutuhan
yang telah ditentukan. Setiap sistem pasti mempunyai tujuan, dan semua kegiatan
dari semua komponen atau bagian-bagiannya adalah diarahkan untuk tercapainya
tujuan terebut. Pendidikan merupakan suatu sistem yang mempunyai unsur-unsur
tujuan/sasaran pendidikan, peserta didik, pengelola pendidikan, struktur atau
jenjang, kurikulum dan peralatan/fasilitas.
2.
Pendidikan
nasional merupakan suatu usaha untuk membimbing para warga negara Indonesia
menjadi pacasila, yang berpribadi, berdasarkan akan Ketuhanan berkesadaran
masyarakat dan mampu membudayakan alam sekitar. Serta tujuan dari pendidikan
nasional itu yakni membangun kualitas manusia yang bertakwa kpada Tuhan yang
Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan dengan-Nya sebagai warga
negara yang berjiwa pancasila mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi,
berbudi pekerti yang luhur dan berkribadian yang kuat, cerdas, terampil, dapat
mengembangkan dan menyuburkan sikf domokrasi, dapat memelihara hubungan yang
baik antara sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu
mengembangkan daya estetik, berkesanggupan untuk membangun diri dan masyarakatnya
3. Hakekat manusia adalah kebenaran
atas diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.
Tetapi terdapat dua sudut pandang yang dapat digunakan untuk memahami apa
hakekat manusia itu, yaitu dari pandangan umum dan pandangan agama Islam.
4. Hakekat manusia menurut pandangan umum mempunyai
arti bermacam-macam, karena tedapat berbagai ilmu dan perspektif yang memaknai
hakekat manusia itu sendiri. Seperti dalam perspektif filsafat menyimpulkan
bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual.
Dalam perspektif ekonomi mengatakan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi.
Perspektif Sosiologi melihat bahwa manusia adalah makhluk social yang sejak
lahir hingga matinya tidak pernah lepas dari manusia lainnya. Sedangkan,
perspektif antropologi berpendapat manusia adalah makhluk antropologis yang
mengalami perubahan dan evolusi. Dan dalam perspektif psikologi, manusia adalah
makhluk yang memiliki jiwa.
5. Hakekat manusia menurut pandangan Islam:
a. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah
SWT.
b. Kemandirian dan Kebersamaan
(Individualitas dan Sosialita).
c. Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas.
6. Suatu pendidikan di mulai dari
keberadaan manusia pada zaman primitif
sampai zaman modern (masa kini), bahkan selama masih ada kehidupan
manusia didunia pendidikan akan tetap berlangsung karena itu adalah hakikat
manusia dalam kehidupannya.
Dalam pendidikan ada 1). Tujuan
pendidikan yaitu: mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. 2). Pendidik atau guru banyak diartikan orang, ada
yang mengatakan di gugu lan ditiru (Jawa), yaitu orang yang harus di gugu dan
di tiru oleh semua muridnya. Artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya
senantiasa dipercaya dan di yakini sebagai kebenaran oleh semua muridnya dan
sekaligus untuk diteladani.3). Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan
berkembang baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi perkembangan
mental.4). kurikulum adalah rumusan, tujuan mata pelajaran, garis besar pokok
bahasan penilaian dan perangkat lainnya.5). metode pembelajaran.
7.
Membangun
karakter peserta didik di era globalisasi
dewasa ini antara lain :
(1) moral para pemuda sangatlah
perlu untuk
dibenahi,
(2) diperlukan langkah untuk
mengantisipasi
pengaruh negatif globalisasi
terhadap nilai
nasionalisme,
(3) mengembangkan teori dan
model-model atau
strategi pembelajaran moral yang
berpijak pada
karakteristik siswa dan budayanya,
(4) orang tua sedini mungkin
menanamkan kesadaran
kepada anak tentang pentingnya sebuah
kebaikan
8. VISI, MISI, FUNGSI, TUJUAN, DAN
STRATEGI PENDIDIKAN NASIONAL
Sistem
pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
UUSPN
dari No. 2 tahun 1989 diganti UU No. 20 tahun 2003, dilakukan dalam rangka
memperbarui visi, misi dan strategi pendidikan nasional. Pembaruan sistem
pendidikan nasional mencakup penghapusan diskriminasi antara pendidikan formal
dan pendidikan non-formal.
Visi
pendidikan nasional adalah memberdayakan semua warga negara Indonesia, sehingga
dapat berkembang menjadi manusia berkualitas yang mampu bersaing dan sekaligus bersanding
dalam menjawab tantangan zaman.
Misi
pendidikan nasional adalah:
- Mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Membantu dan memfasilitasi pengembangan
potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka
mewujudkan masyarakat belajar.
- Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas
proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.
- Meningkatkan keprofesionalan dan
akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan, ilmu pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan
global.
- Memberdayakan peran serta masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks NKRI.
Berdasarkan
visi dan misi pendidikan nasional tersebut, maka fungsi pendidikan nasional
adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan
nasional adalah untuk mengembangkan potensi-potensi peserta didik yang menjadi
manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Strategi
pendidikan nasional adalah:
-
Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia.
-
Pengembangan dan pelaksanaan kurkulum berbasis kompetensi.
-
Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis.
-
Evaluasi, akreditasi dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan.
-
Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan.
-
Penyediaan sarana belajar yang mendidik.
-
Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan.
-
Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata.
-
Pelaksanaan wajib belajar.
-
Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan.
-
Pemberdayaan peran masyarakat.
-
Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat.
-
Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan
pada hakekatnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap
perubahan zaman. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tercantum dalam UU No.
20 tahun 2003 bab II pasal 3.
9. Pendidikan adalah Suatu Konsep dasar
yang bersifat atu bertujuan mengarahkan membimbing dan membina dari suatu hal
yang tidak diketahui menjadi suatu hal yang diketahui baik secara umum maupun
pribadi. dengan struktur, arahan, sarana dan prasarana yang telah terencana
sehingga mendukung proses pendidikan tersebut dan dapat dihasil kan suatu
serapan materi yang penting. Biasanya hal ini berkaitan dengan landasan dan
ketulusan hati sehingga materi yang disampaikan dapat dipahami secara terbuka.
Jadi
Pendidikan itu adalah sesuatu Hal yang dibutuhkan untuk mendapatkan sesuatu
yang akan menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang
lebih kita butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan
akal dan rohani.
10. Sistem Pendidikan Nasional adalah
keseluruhan unsur komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional merupakan pendidikan
yang didasarkan pada Pancasila & UUD 1945 yang besumber pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional Indonesia & tanggap terhadap tuntutan perubahan
zaman
Sebagai negara konstitusional,
segala sesuatu termasuk pendidikan nasional tentu bersumber pada Pancasila dan
UUD 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi peserta didik
yang beriman, bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
kreatif, madiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
11. Tujuan wibawa pendidikan adalah
berusaha membawa anak ke arah kedewasaannya. Ini berarti secara beangsur-angsur
anak dapat mengenal nilai-nilai hidup atau norma-norma dan menyesuaikan diri
dengan norma-norma itu dalam hidupnya. Bagaimana norma-norma dan nilai
identifikasi nilai hidup itu diterima dan dimiliki anak? Syarat mutlak dalam
pendidikan adalah adanya kewibawaan pada pendidik. Tanpa kewibawaan, pendidik
tidak akan berhasil baik.
12. Banyak sekali factor yang menjadikan
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis
diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya
biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru,
rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan
kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari
pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang
menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem
ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya
bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara
pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di
Indonesia.
13. Sesungguhnya sekolah terpadu adalah
sekolah yang berupaya mewujudkan suatu institusi pendidikan yang berbasiskan
pada pandangan manusia secara holistic. Manusia yang menjadi subyek didik
adalah makhluk yang kompleks, yang di dalamnya tersusun sejumlah aspek yang
kemudian bermuara pada satu eksistensi. Oleh karena itu, proses pembelajaran
hendaknya menyesuaikan diri dengan sifat-sifat dan kecenderungan manusia baik
sebagai individu mapun sebagai makhluk social.
14. Pada sisi lain, sekolah terpadu
adalah upaya untuk memunculkan solusi (jalan keluar) dari keterpurukan model
dan pola pendidikan yang selama ini diterapkan di tengah-tengah kita, yang
terbukti tidak mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yang kompetitif dan
sekaligus memiliki integritas dan moralitas yang tinggi.
15. Akhirnya, kita dapatkan suatu
kejelasan bahwa sesungguhnya sekolah terpadu adalah sekolah yang dibangun
dengan pendekatan criteria sekolah efektif, yang dengan criteria itu
sekolah-sekolah terbaik di seluruh dunia telah membuktikan dirinya menjadi
lembaga pendidikan yang mampu melahirkan lulusan-lulusan terbaik untuk mereka
sumbangkan bagi kemajuan Negara dan bangsa mereka.
DAFTAR PUSTAKA
§ http://kartika-d.blogspot.com/2014/05/hakikat-manusia-menurut-pandangan-umum.html
§ http://keajaibanikhlas.blogspot.com/2013/02/hakikat-pendidikan.html
§ https://veronikacloset.files.wordpress.com/2010/06/metode-mengajar.pdf
§ http://zhalabe.blogspot.com/2012/03/visi-dan-misi-pendidikan-nasional.html#.VFTm23bNu1s
§ http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/3302
§ http://arafah127.blogspot.com/p/pengertian-unsur-unsur-dan-fungsi.html
§ slideshare.net/ahmadamrizal/01uu-no20-tahun-2003-tentang-sistem-pendidikan-nasional
§ http://ulylamri17.blogspot.com/2013/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
§ http://fitwiethayalisyi.wordpress.com/teknologi-pendidikan/permasalahan-pendidikan-masa-kini/
§ http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/01/31/n09e3d-sekolah-islam-terpadu-keberhasilan-melampaui-niatan
§ http://nuansatiti.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
§ taff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Prof.
Dr. Achmad Dardiri, M.Hum./handout - ILMU PENDIDIKAN.pdf
§ http://www.journalhome.com/nfbs/16130/
0 komentar:
Posting Komentar